Pannakatha

Seperti apakah konsep anicca dukkha anatta dalam penerapan kehidupan keseharian, mari kita simak kumpulan artikel artikel Pannakatha yang merupakan karya terjemahan bercampur dengan kompilasi dari berbagai buku yang dilakukan oleh penyusun dan diterbitkan dalam bentuk leaflet sejak tahun 1990-an dalam rangka memenuhi kebutuhan permenungan pokok-pokok penting hakikat kehidupan, dan atas praktik Buddha dhamma di dalam kehidupan sehari-hari dari beberapa pendukung yang menyebarkannya di berbagai kota di Nusantara. Atas berbagai masukan, maka leaflet tersebut di kumpulkan dan di rangkai kembali menjadi satu didalam buku kecil dan sekarang di tuangkan dalam bentuk website ini. Semoga dapat memberikan sumbangsih memperkaya referensi dan bahan renungan Buddha Dhamma dalam praktik keseharian dengan berbagai perumpamaan yang tersebar didalam Tipitaka

Dhamma menjadi berkah mulia bagi kita

Selamat Rodjali Webblog : http://tilakkhana-tigacorakkehidupan.blogspot.com

Creator:Mirawati Mulyadi

Friday 1 August 2014

Tentang Ketidakkekalan

Hampir semua umat Buddha secara intelek telah mengenal kebenaran yang dibabarkan Sang Buddha ketika pertama kali berkhotbah, yaitu Empat Kesunyataan Mulia. Telah banyak pula umat Buddha yang menggunakan khotbah tersebut sebagai dasar untuk berlatih menuju perealisasian tujuan tertinggi umat Buddha, kebahagiaan sejati. Namun, seberapa efektifkah hasilnya?  Berapa persenkah yang berhasil merealisasinya ?

Setelah merealisasi pencerahan agung di Buddha Gaya, Sang Buddha merenung:’ Demikian dalam ajaran ini. Sungguh sulit mengungkapkan apa yang telah direalisasi ini ke dalam kata-kata.’

Bila kita membaca Dhammacakkappavattana Sutta di dalam naskah Tipitaka berbahasa Pali, ketika Sang Buddha memberikan khotbah perihal Empat Kesunyataan Mulia, hanya satu dari kelima pertapa yang mendengarkan Sutta tersebut yang sungguh-sungguh mengeri; hanya satu yang merealisai pandangan orang yang mendalam.

Para dewa juga mendengarkan khotbah tersebut. Para dewa adalah mahluk surgawai, yang memiliki hasil (vipaka) di kehidupan ini superior dibandingkan kita. Mereka tidak memiliki materi tubuh yang kasar seperti kita; mereka bertubuh halus dan indah serta menyenangkan dan cerdas. Namun, walaupun mereka gembira mendengarkan khotbah itu, tak satu pun darinya yang merealisasi pencerahan agung saat itu.

Kita mengetahui bahwa mereka menjadi gembira karena pencerahan agung Sang Buddha dan mereka berseru ke alam-alam surga ketika mereka mendengarkan ajaran-Nya. Pertama kali, satu level deva mendengarnya, kemudian mereka berseru mengjangkau level deva berikutnya, dan seterusnya, semua deva bergembira hingga deva Brahma. Itu merupakan suara kegembiraan para deva bahwa Dhamma telah diputar kembali dan deva serta brahma begitu gembira. Namun demikian, hanya Kondanna, satu dari lima pertapa, yang merealisasi pencerahan ketika mendengarkan pertama kali khotbah ini. Pada akhir sutta tersebut, Sang Buddha menyebutnya ‘Anna Kondanna’ yang artinya Kondanna yang mengetahui.

Apakah yang diketahui Kondanna? Apakah pandangan terang-nya yang membuat Sang Buddha memuji pada akhir dari khotbahnya ? Pandangan terang itu berkenaan dengan:’Semua yang merupakan subyek untuk muncul adalah subyek untuk padam’. Sekarang, hal ini mungkin tidak terdengar sebagai pengetahuan yang besar namun apa yang terkandung sesungguhnya adalah sebuah pola umum: apapun yang merupakan subyek untuk muncul adalah subyek untuk padam; ini adalah tidak kekal dan bukan aku / tanpa kepemilikan...

Oleh karena itu janganlah melekat, janganlah dibodohi oleh sesuatu yang muncul dan padam. Janganlah mencari perlindungan di dalam sesuatu yang muncul – karena semua itu akan padam.

Apabila kita ingin menderita dan memboroskan kehidupan kita, kita dapat pergi berkelana mencari sesuatu yang muncul. Mereka semua akan berakhir, padam. Kita hanya mencari berputar mengulangi kebiasaan lama dan ketika kita meninggal, kita tidak akan memperoleh pelajaran penting dari kehidupan kita itu.

Daripada hanya berpikir tentang keadaan di atas, lebih baik kita merenungkan; ‘Semua yang merupakan subyek untuk muncul adalah subyek untuk padam.’ Terapkanlah hal ini di dalam kehidupan umum, ke dalam pengalaman kita. Kemudian kita akan mengerti, Perhatikan; awal...akhir. Renungkan bagaimana segala sesuatu sebagaimana hakekatnya. Semua sensor dicurahkan untuk memperhatikan ‘mulai dan berakhir’: dan akan didapat pengertian benar, Samma ditthi, di dalam kehidupan ini.

            Kita tidak mengetahui berapa lama Kondanna hidup setelah khotbah Sang Buddha itu, namun ia telah merealisasi pencerahan pada saat itu. Ia telah memiliki pengertian benar.

Hal ini dimaksudkan untuk menekankan begitu pentingnya untuk mengembangkan cara merenung. Daripada hanya mengembangkan sebuah metode menenangkan pikiran kita, yang tentu merupakan salah satu bagian dari latihan, lihatlah yang sesungguhnya bahwa meditasi yang tepat merupakan sebuah komitmen untuk menyelidiki dengan bijaksana. Hal ini melibatkan upaya yang keras untuk melihat segala sesuatu denga mendalam, tidak menganalisa dan membuat keputusan sendiri tentang mengapa kita menderita secara tingkat personal, namun dengan mengikut JALAN secara sungguh-sungguh sehingga kita memiliki pengertian yang mendalam. Pengertian benar tersebut didasari oleh pola ‘ muncul dan padam ‘. Satu kali keselarasan ini dimengerti, segala sesuatu yang di lihat akan tampak cocok dengan pola tersebut.

Ini bukanlah ajaran metafisik:’Semua yang merupakan subyek untuk muncul adalah subyek untuk padam.’ Ini bukanlah kebenaran tanpa kematian; namun apabila dapat mengerti dan mengetahui dengan mendalam bahwa semua yang muncul merupakan subyek untuk padam, maka kebenaran mutlak, tanpa kematian, kebenaran kekal akan dapat direalisasi.


Ini merupakan satu teknik untuk merealisasi kesunyataan.  Perhatikan perbedaannya; kalimat itu bukanlah metafisik namun merupakan cara yang membawa kita untuk merealisai yang mengatasi duniawi/surgawi.

Vipallasa (Sifat Semu / Palsu)

             Vipallasa artinya ke-semu-an / ke-maya-an / kepalsuan, halusinasi, angan-angan, kesalahan penyelidikian, atau, menganggap sesuatu yang benar sebagai yang salah, dan menganggap yang salah sebagai yang benar. Terdapat tiga macam kesemuan (vipallasa), yaitu sanna vipallasa (kesemuan persepsi), citta vipallasa (kesemuan pikiran) dan ditthi vipallasa (kesemuan pandangan)
            Ketiga kesemuan itu masing-masing terdiri dari empat jenis kesalahan, yaitu kesalahan berkenaan dengan :
  1. ketidakkekalan sebagai kekekalan
  2. ketidakmurnian sebagai kemurnian
  3. keburukan sebagai kebaikan
  4. bukan substansi sebagai substansi.
Ketiga kesemuan ini dapat diilustrasikan masing-masing dengan perumpamaan sebagai berikut :

Perumpamaan rusa liar yang menggambarkan kesemuan pencerapan, sebagai berikut :
            Di tengah sebuah hutan yang lebat, ada seorang perumah tangga yang membudidayakan tanaman padi. Apabila petani itu pergi, rusa liar biasanya datang ke ladang tersebut dan memakan butir-butir padi muda yang baru sedang tumbuh. Menyadari hal ini, petani tersebut membuah orang-orangan dari jerami dan diletakkan di tengah-tengah ladangnya untuk menakut-nakuti dan menghalau rusa-rusa yang datang ke ladangnya itu. Ia mengikat jerami tersebut dengan serat tali sehingga membentuk tubuh, dengan kepala, tangan dan kakinya: dan dengan getah putih menggambarkan sebuah pot menyerupai kepala orang, ia meletakkannya di atas tubuh jerami itu. Ia pun menutupi orang-orangan itu dengan pakaian tua seperti baju, celana dan sebagainya, dan meletakkan sebuah busur dan anak panah di tangannya. Kemudian, seperti biasa rusa itu datang ke sana, untuk memakan padi-padi muda; namun setelah mendekati ladang dan pandangannya menangkap orang-orangan, mereka menganggapnya seperti orang sesungguhnya, merasa takut, dan melarikan diri.
            Di dalam gambaran di atas, sebelumnya rusa liar telah melihat manusia, dan di dalam persepsinya terpatri bentuk dan rupa manusia. Sesuai dengan pencerapannya ini, mereka menganggap manusia jerami sebagai manusia sesungguhnya. Demikianlah, pencerapannya merupakan pencerapan yang keliru. Kesemuan pencerapan di sini ditunjukkan dengan rusa liar dalam mengenali orang-orangan.
            Kesemuan pencerapan ini juga dapat digambarkan seperti orang bingung yang kehilangan arah dalam perjalanannya dan tidak dapat menentukan titik tujuan, Timur dan Barat, di tempat ia berada, walaupun matahari yang timbul dan tenggelam dapat dengan jelas dicerap oleh seseorang dengan mata terbuka. Apabila kekeliruan telah dibuat, hal ini akan berakar dengan kuat dan hanya dapat dihancurkan dengan usaha yang sangat besar. Di dalam diri kita banyak sesuatu yang selalu kita anggap secara keliru dan dalam arti yang bertentangan dengan kesunyataan dalam memandang ketidak-kekalan dan ke-tanpa-substansi-an. Demikianlah melalui kesemuan pencerapan kita mencerap sesuatu secara keliru, persis seperti rusa liar yang memandang orang jerami sebagai orang sesungguhnya walaupun dengan mata terbuka

Sekarang, perumpamaan tukang sihir, menggambarkan kesemuan pikiran, sebagai berikut :
            Terdapat ilmu kesemuan yang disebut sihir di mana ketika sebongkah tanah ditunjukkan di dalam keramaian, semua yang melihatnya berpikir bahwa itu adalah sebongkah emas dan perak. Kekuatan ilmu sihir ini sedemikian rupa sehingga mampu mengubah pandangan orang biasa dan menggantikannya dengan pandangan yang di luar kebiasaan. Dikatakan, untuk sementara waktu mengendapkan cara berpikir logis. Pada saat orang-orang umumnya melihat sebongkah tanah seperti apa adanya, dengan pengaruh ilmu sihir ini, mereka melihat sebongkah tanah sebagai sebongkah emas dan perak dengan semua kualitas kecemerlangan, kekuningan, keputihan-nya dan sebagainya. Demikian, kepercayaan, pengamatan, atau gagasan-gagasannya menjadi keliru. Dengan cara yang sama, pikiran dan gagasan-gagasan kita berada dalam kebiasaan salah menganggap’salah’ sesuatu sebagai ‘benar’ dan kita buta atas diri kita sendiri. Sebagai contoh, pada malam hari kita sering kali cenderung berpikir kita melihat seorang manusia padahal kenyataannya hanya tunggul sebuah pohon yang kita lihat. Atau,melihat sebuah semak, kita membayangkan bahwa kita melihat seekor gajah liar; atau, melihat seekor gajah liar sebagai sebuah semak.
            Di dalam dunia ini, semua gagasan-gagasan kita yang keliru terhadap sesuatu yang datang ke dalam jangkauan pengamatan kita, disebabkan oleh kesemuan pikiran yang lebih dalam dan lebih halus daripada kesemuan pencerapan, sehingga mengelahui kita dengan memandang sesuatu yang salah sebagai yang benar. Namun demikian, hal ini dapat dilenyapkan dengan lebih mudah dengan menyelidiki atau dengan mencari ke dalam sebab-sebab dan kondisi-kondisi sesuatu.

Sekarang, perumpamaan seseorang yang kehilangan arah, untuk menggambarkan kesemuan pandangan,  sebagai berikut :
Terdapat sebuah hutan yang besar yang dihuni oleh mahluk-mahluk setan, atau jin yang menetap di sana dengan membangun kota dan desa. Pada satu hari, datanglah beberapa musafir ke sana namun tidak begitu mengenal kondisi jalan yang melalui hutan itu. Mahluk setan / jin itu membuat kota dan desa-desanya sangat indah seindah sorganya para dewa; dan di samping itu mahluk setan / jin tersebut menirukan bentuk tubuh dewa dewi. Mereka juga membuat jalan yang lebar dan indah seperti yang dimiliki para dewa. Ketika musafir itu melihat semua ini, mereka yakin bahwa jalan yang indah itu menuju kota atau desa yang besar, dan dengan demikian mereka menyimpang dari jalan sebenarnya, mereka tersasar karena menuruti jalan yang salah dan menyesatkan; setelah sampai di kota para mahluk setan / jin itu, para musafir menemui penderitaan.
            Di dalam perumpamaan ini, hutan yang luas melambangkan tiga alam kehidupan ; kehidupan di alam nafsu indera (kama bhumi), kehidupan di alam materi halus ( rupa bhumi) dan kehidupan di alam tak bermateri (arupa bhumi). Para musafir melambangkan mahluk hidup di dunia ini. Jalan yang benar adalah pandangan benar ( perihal dunia maupun pencerahan agung), sedangkan jalan yang salah adalah pandangan keliru



Thursday 31 July 2014

Kebutuhan Primer

Sebagai pengantar, marilah para pembaca menyimak sebuah kisah nyata yang tertulis di dalam kitab suci Tipitaka.  Cerita tersebut terjadi pada jaman kehidupan Buddha Gotama. Cerita ini mengindikasikan banyak hal tentang prasyarat di dalam menghayati Buddha Dhamma, yang memungkinkan pembaca dapat memecahkannya sendiri. Demikian cerita tersebut :

Satu pagi ketika Buddha Gotama berdiam di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, Beliau dapat mengetahui melalui kekuatan batinnya bahwa indera spiritual seorang petani miskin tertentu yang hidup di dekat kota Alavi telah cukup masak untuk mengerti ajaranNya, dan ia telah masak untuk merealisasi kesunyataan. Kesempatan tersebut merupakan satu hal yang tepat untuk memberikan ajaran kepadanya. Oleh karena itu, kemudian, pagi hari itu Sang Buddha pergi berjalan kaki ke Alavi, sejauh kurang lebih 30 Yojana (lebih kurang 48 km). Penduduk Alavi memperlakukan Buddha dengan penuh hormat dan menyambut kedatangan Beliau dengan hangat. Serta merta sebuah tempat disediakan bagi siapa saja yang akan berkumpul bersama dan mendengarkan khotbah. Namun demikian, karena tujuan Buddha mengunjungi Alavi adalah untuk mengkondisikan seorang petani miskin tersebut, sebelum mulai berkhotbah, Beliau menunggu kedatangan petani tersebut.

Petani miskin tersebut mendengar berita baru tentang kedatangan Buddha, dan karena ia telah tertarik akan ajaran Buddha, untuk beberapa saat ia ingin pergi dan mendengarkan khotbah tersebut. Namun apa yang terjadi bahwa sapi-sapinya telah ‘ lenyap’. Ia bertanya-tanya (dalam hati) apakah pertama-tama ia harus pergi dan mendengarkan khotbah Buddha dan mencari sapinya kemudian, ataukah pertama-tama mencari sapinya, kemudian pergi mengunjungi dan mendengarkan khotbah Buddha. Ia akhirnya merencanakan untuk pertama-tama mencari sapinya dan dengan segera berangkat ke dalam hutan untuk mencari sapinya itu. Kemudian petani miskin itu menemukan sapinya dan membawanya pulang ke tempat ternaknya, namun dengan berjalannya waktu tersebut apa hendak dikata, ia sangat lelah. Petani itu berpikir, “ waktu berlangsung terus, apabila saya pertama-tama pulang ke rumah tentu akan menyita banyak waktu. Saya harus pergi langsung ke kota untuk mendengarkan khotbah Buddha.” Setelah menetapkan pikirannya, petani miskin itu mulai berjalan menuju Alavi. Sewaktu ia tiba di tempat yang disediakan untuk khotbah itu, ia kehabisan tenaga dan sangat lapar.

Ketika Buddha melihat kondisi petani tersebut, Beliau meminta para tetua kota itu untuk menyediakan makanan kepada lelaki miskin itu. Ketika petani tersebut telah makan dengan cukup kenyang dan segar kembali, Buddha mulai mengajar dan ketika mendengarkan khotbah, petani itu merealisasi tingkat kesucian pertama ‘yang memasuki arus’ (Sotapanna). Buddha telah memenuhi maksudnya dalam mengadakan perjalanan ke Alavi.

Setelah khotbah selesai Buddha mengucapkan selamat jalan kepada orang-orang Alavi dan pergi kembali ke Vihara Jetavana.

Selama dalam perjalanan kembali, para bhikkhu yang menyertai Buddha mulai berdiskusi dengan kritis tentang kejadian hari itu. “ Apakah semua itu ? Pada hari ini Sang Bhagava tidak seperti biasanya. Saya heran mengapa sebelum memberikan khotbah, Beliau meminta mereka untuk menyediakan makanan kepada petani seperti itu.” Buddha, mengetahui subjek diskusi para bhikkhu itu memutar badan ke arah mereka lalu memulai untuk memberitahukan alasannya, dan pada satu titik di dalam penjelasam tersebut Buddha menyatakan,” pada saat orang-orang diliputi dan di dalam kesakitan fisik yang membuatnya menderita, mereka tidak dapat mengerti Dhamma.” Kemudian Buddha menyatakan bahwa kelaparan adalah penderitaan yang paling menyakitkan dari semua bentuk kesakitan, dan merupakan fenomena berkondisi yang melengkapi dasar penderitaan kemelekatan yang mendasar. Hanya ketika seseorang mengerti kebenaran ini ia akan merealisai kebahagiaan sejati,  Nibbana.

Semua titik penting dari kondisi pemahaman Buddha Dhamma nampak dalam cerita ini, Seseorang harus memiliki simpanan jasa kebajikan untuk bertemu dengan seorang guru dan mendengarkan Dhamma yang bermanfaat. Namun di kala tepat untuk berbuah, diperlukan kondisi khusus yang patut kita renungkan, yaitu pemenuhan kebutuhan primer yang mengkondisikan ketenangan batin. Sungguh kecil peluang berkonsentrasi untuk mendengarkan Dhamma hingga mengerti apalagi merealisasi Nibbana apabila orang tersebut sedang diliputi kegelisahan batin (dalam contoh ini: karena sapinya sebagai sumber penghidupan lenyap). Demikian pula, seseorang yang sedang diliputi kelaparan dan kondisi tubuh yang sangat lelah, dibutuhkan upaya yang sangat berat dan sungguh sulitu untuk berkonsentrasi apalagi memahami sepenuhnya Buddha Dhamma. Sang Buddha telah sepenuhnya menyadari hal ini. Walaupun petani dalam cerita tadi memiliki potensi untuk mencapai kesucian karena pemupukan kamma-nya, namun kekuatan tersebut juga harus dikondisikan oleh faktor lain yang sedang dihadapinya saat itu serta upaya dan pengarahan diri yang benar.

Pernahkan terpikirkan oleh kita semua, sampai seberapa jauh’tah’ kita telah menyediakan kondisi pemenuhan kebutuhan primer kepada diri kita sendiri, atau kepada mereka yang kita harapkan menjadi umat Buddha yang baik, kepada mereka yang berhasrat mendengarkan Dhamma, kepada mereka yang sedang berpraktik Dhamma dengan baik dan tekun. Bahkan, terhadap para bhikkhupun, saat ini, cukup banyak umat Buddha yang tanpa sadar telah menyediakan kondisi yang kurang tepat untuk pengembangan batin mereka dengan menjerumuskan para bhikkhu ke dalam kancah acara yang padat dan melelahkan, dan lupa akan disiplin makan seperti yang digariskan di dalam vinaya.
Untuk kebahagiaan bersama, bila umat Buddha semua secara bersama-sama menghayati berbagai kondisi bagi suksesnya pemahaman dan perealisasian Buddha Dhamma, tentu perealisasian kebahagiaan sejati bukanlah utopia.


Semoga tulisan singkat di atas dapat menjadi inspirasi positif bagi para pembaca. Semoga berbahagia.

Doa dan Upacara Pemujaan

            Satu hari, ketika Sang Buddha berdialog dengan perumah tangga terkemuka bernama Anathapindika, beliau membuat komentar berikut ini terhadap penggunaan doa-doa :
            “ O perumah tangga, terdapat lima hal yang diinginkan, menyenangkan dan disetujui yang jarang di dunia ini. Apakah kelima hal tersebut ? Mereka adalah umur panjang, kecantikan (ketampanan), kegembiraan, nama baik (kemasyuran) dan (tumimbal lahir) di alam surga. Namun, o perumah tangga, di antara kelima hal ini, saya tidak mengajarkan bahwa mereka diperoleh dengan doa (ayacana-hetu) atau bersumpah kaul (patthana-hetu). Apabila seseorang dapat memperoleh kelima hal itu hanya dengan doa atau kaul, siapakah yang tidak akan melakukannya ?
            Bagi siswa yang mulia, O perumah tangga, yang berharap memiliki umur panjang, tidaklah tepat jika ia harus berdoa bagi umur panjang atau merasa senang melakukan hal itu. Ia seyogyanya lebih baik mengikuti satu jalan kehidupan ( Dana, Sila, Bhavana) yang menunjang panjangnya umur.  Dengan mengikuti jalan tersebut ia akan memperoleh umur panjang baik sebagai mahluk surgawi maupun manusia.
            Bagi siswa yang mulia, O perumah tangga, yang berharap memiliki kecantikan... kegembiraan... kemasyuran... (tumimbal lahir) di alam surga, tidaklah tepat jika ia harus berdoa bagi hal itu atau merasa senang melakukan hal itu. Ia seyogyanya lebih baik mengikuti satu jalan kehidupan ( Dana, Sila, Bhavana) yang menunjang kecantikan...kegembiraan...kemasyuran...(tumimbal lahir) di alam surga. Dengan mengikut jalan tersebut ia akan (tumimbal lahir) di alam surga.”
            (Anguttara Nikaya, Pancaka Nipata no. 43)
            Di antara semua guru pada jamannya, Sang Buddha dikenal sebagai seorang Kamma-vadin, yaitu seorang yang mengajarkan kemanjuran dan pentingnya perbuatan. Di dalam doktrin dan ajarannya, bukan  dengan permohonan terhadap kekuatan yang tak terlihat melalui upacara keagamaan tradisional bahwa seseorang dapat memperoleh manfaat yang diinginkannya; namun mereka harus berpenghidupan benar, baik dari pikiran, perkataan dan aktivitas jasmani. Hal ini merupakan dasar ajaran etika Buddha Dhamma. Dalam dunia modern sekarang, tanpa hal di atas, masyarakat berintelegensia cukup tinggi akan mempertanyakan VALIDITAS tindakan tersebut. Berbagai gejala keraguan dan kemerosotan moral saat ini didasarkan karena kurangnya pengertian akan prinsip sebab akibat moral ini.
            Belenggu ketiga dari sepuluh belenggu yang harus dihancurkan sebelum sotapatti-magga (tingkat pembebasan pertam) dicapai, adalah silabbataparamasa, kepercayaan dan kemelekatan akan ritual yang kosong semata yang membawa ke kesucian. Di jaman kehidupan Sang Buddha, hal ini berarti ritual yang dilakukan sebagian besar orang jaman itu, seperti memuja api yang dianggap suci ( yang disebut sebagai tindakan sia-sia di dalam Dhammapada ), dan sumpah-sumpah dari para pertapa ekstrim yang dilakukan oleh perta telanjang dari aliran Nigantha, dan yang lain yang hidup seperti anjing dan sapi. Silabbataparamasa juga mencakup persembahan dan pengorbanan kepada para dewa; yang jauh lebih lama sebelum kelahiran Buddha, dikenal dalam syair dan doa-doa. Sang Buddha yang juga telah mengenal hal tersebut, telah menemukannya sebagai hal yang sia-sia setelah Beliau merealisasi Pencerahan Agung. Di dalam naskah yang dipetik di atas, Beliau bahkan menolaknya sebagai cara untuk memperoleh manfaat duniawi. Guna mengerti posisi yang diambil oleh Sang Buddha, sangatlah perlu bagi kita untuk meneliti sifat alamiah doa dan pemujaan secara umum.

            Tampaknya, merupakan naluri dasariah di dalam sifat alami manusia untuk berdoa bila di dalam kebutuhan atau stres. Doa adalah sarana yang dipakainya untuk berhubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, baik sebagai pembimbing atau untuk mengintervensi ke dalam situasi yang dia sendiri, secara individu tak dapat memecahkannya. Kekuatan luar yang bonafid yang dia harapkan, mungkin nyata atau mungkin imajinasi, namun apa pun itu, kasus-kasus yang banyak disebarluaskan adalah yang tampaknya menunjukkan bahwa doanya kadang diikuti oleh hasil yang diinginkan.

Perpaduan

            Bila kita menyimak sebuah kendaraan bermotor roda empat, misalkan saja sebuah mobil, yang bergerak dengan lancar, seseorang mungkin beranggapan bahwa bila tidak ada mesin, maka mobil tersebut tidak dapat bergerak, oleh karena itu mesin merupakan sumber proses pergerakan mobil tersebut. Orang lainnya mungkin beranggapan bahwa bila tidak ada bensin maka mobil tersebut tidak akan bergerak, oleh karena itu bensin merupakan sumber proses pergerakan mobil tersebut. Tidak demikian halnya dnegan si Ali. Ia berpikir bahwa mobil dapat bergerak karena adanya kabel dan ‘engkol’ penghubung ke alat-alat gerak mobil itu, dan kabel itulah sumber proses pergerakan. Berbeda dengan si Ani, ban mobil merupakan sumber proses pergerakan tersebut. Sementara itu, si Badu berpendapat bahwa ‘gear’ merupakan sumber proses pergerakan sebuah mobil. Dan seterusnya bagi orang lain, berbeda pula pendapatnya. Para pembaca, yang manakah dari semuanya itu sebagai sumber proses pergerakan sebuah mobil?
            Ada bensin, ada kabel dan engkol penghubung, ada ban,namun tidak ada mesin maka mobil itu tidak dapat bergerak. Ada mesin, ada kabel, ada ban dan ada engkol penghubung, namun bensin tidak ada maka mobil tidak dapat bergerak. Dan seterusnya. Mobil dapat berproses bergerak atas kerjasama mesin, bensin, kabel, ban, engkol sampai hal terkecil seperti baud dan sebagainya. Semua onderdil mobil itu berproses dan berpadu menghasilkan proses lain yaitu proses bergerak. Seseorang tidak mungkin mampu menunjukkan yang mana sesuatu yang pasti sebagai penggerak.
            Manusia dapat berproses, baik berpikir maupun bergerak atau berposisi tubuh, dengan kata lain ‘hidup’. Sementara orang menyatakan bahwa sumber kehidupan seseorang adalah jantung, karena bila jantung tidak bergerak maka proses kehidupan manusia berakhir. Lain lagi dengan pendapat si Tuti, jantung bisa dicangkok, jadi jantung bukan sumber proses kehidupan. Menurutnya, sumber proses kehidupan adalah darah, karena bila seseorang terluka dan darahnya habis, maka terhentilah proses kehidupan orang itu. Apakah benar demikian? Si Umar membantahnya dengan alasan bahwa saat ini sudah ada transfusi darah dan penggantian darah sehingga bagaimana mungkin darah merupakan sumber proses kehidupan. Si Harold lain lagi. Ia seorang sarjana bioteknologi molekul, ia berpendapat bahwa sumber proses kehidupan adalah DNA, karena jantung, darah, otak dan sebagainya mengandung DNA yang unik dan sangat menentukan kehidupan. Dan seterusnya, hingga saat ini para ahli masih belum dapat menentukan dengan pasti di mana sumber proses kehidupan suatu mahluk.
            Bagaimanakah umat Buddha harus menjawab hal di atas ? Di manakah letak sumber kehidupan ?
            Manusia merupakan perpaduan batin dan materi / jasmani. Mereka berproses saling berpengaruh. Proses pergerakan jasmani manusia dikondisikan oleh batin, dan juga oleh materi lainnya. Proses batin manusia juga dapat dikondisikan oleh materi. Batin manusia muncul pada materi yang bersesuaian ( vatthu ), mengalami objek melalui materi yang bersesuaian (dvara). Kondisi materi jasmani yang lemah akan sangat berpengaruh terhadap proses batin yang terjadi. Kondisi proses batin yang terjadi juga sangat berpengaruh terhadap proses materi jasmani.
            Batin dan jasmani / materi tubuh berinteraksi dan berproses sedemikian rupa, dan kita tidak dapat menunjukkan secara tepat di mana letak materi tempat munculnya batin yang tidak langsung berhubungan dengan indera.
  • Di dalam naskah dinyatakan: “ YAM RUPAM NISSAYA MANODHATU, MANOVINNANA DHATU CA, VATTANTI PANCAVOKARE TAM VATTHUTI PAVUCCATI” ( Tergantung pada materi atau sifat itulah unsur batin/ manodhatu dan unsur kesadaran batin / manovinnana dhatu muncul pada mahluk yang memiliki lima kelompok perpanduan / pancavokare-bhava. Dalam hal ini, secara nyata dapat kita baca, bahwa Sang Buddha tidak menunjukkan jantung atau otak atau darah atau gen atau sebagainya sebagai tempat kesadaran. Namun secara nyata pula bahwa batin dan jasmani berproses secara terpadu dan batin muncul di dalam landasan batin tersebut.

Catatan: Lima kelompok perpaduan = batin dan jasmani, terdiri dari :
Perasaaan, pencerapan, faktor batin, kesadaran dan materi


Tuesday 29 July 2014

Kisah Cinta

            Suara dari kata itu membuat orang-orang menjadi gila. Apakah kata itu? Cinta, tentu saja, apa lagi? Cinta telah begitu banyak dipuja oleh seluruh dunia mengatasi semua yang dianggap berharga yang patut diperhatikan di dalam mengatasi kehidupan seseorang. Bagi seorang umat Buddha, khususnya yang mengenal Abhidhamma, cinta dapat dianalisa ke dalam berbagai tipe kesadaran / pikiran – baik atau tidak baik, spontan atau dengan ajakan, diliputi perasaan senang atau netral, berkait dengan pandangan keliru atau dengan pengetahuan, dan sebagainya. Perusak permainan! Kata seorang romantis, Bagaimana kamu bisa menganalisa cinta ke dalam tipe-tipe kesadaran?
            Para pe-meditasi pandangan terang, bahkan akan melakukannya lebih daripada sekedar menganalisa. Mereka mengamati perasaan-perasaan dan emosi-emosi sebagaimana munculnya, memperhatikannya sebagai faktor batin yang muncul dan padam, yang tidak kekal atau tanpa substansi. Tidak ada yang seperti itu. Mereka tidak pernah memberikan kesempatan bagi keterikatan untuk tumbuh, selalu waspada menjaga dirinya tidak mengatakan, mengapa membuat sesuatu yang indah seperti cinta nampak begitu buruk, tak berguna. Namun, kemudian, tidakkah itu seharusnya lebih baik berada di sisi yang lebih aman – Saya maksudkan dengan tetap tidak melekat? Namun, mungkin, kamu adalah satu dari mereka yang tidak memikirkan penderitaan yang diminta oleh cinta yang saya tak memiliki apapun untuk mengatakannya.
            Ketika saya memulai pembicaraan ini, saya termenung sejenak. Maksud saya, bertanya-tanya kemana saya harus pergi mencari cerita cinta untuk ditulis? “Apa” seseorang berseru,” Di tiap langkah kamu berada, di sana ada cinta,”Saya bertanya-tanya apa maksudnya ketaka saya menyadari,”Ah, dia benar.” Setiap orang yang berjalan di sekitar kita sudah berkeluarga atau akan berkeluarga, cepat atau lambat. Dan bagaimana menurutmu bahwa itu terjadi ? Kecuali perkawinan yang telah direncanakan sebelumnya yang sekarang lebih kurang sudah tertinggal, selebihnya jatuh melalui panah bunga dewi asmara yang melanda dua hati dnegan sangat dalam melalui dan membuat mereka terluka. Tidak aneh, Barbara Cartland tidak pernah kekurangan cerita baginya untuk tetap menulis.
            Oleh karena itu, untuk menulis cerita ini, saya harus mewawancarai orang lain. Saya harus berjuang untuk membuat orang lain membicarakan sesuatu yang agak pribadi. Prinsip dasar saya adalah saya tidak memiliki maksud apapun untuk menulis cerita pasaran terbaik yang nakal. Saya hanya bermaksud untuk melihat di bagian mana perhatian murni dapat berperan di dalam ilmu kimia emosional ini.

Apakah cinta itu ?
            Ketika saya menanyakan pertanyaan ini kepada sahabat muda, dia hanya menengadahkan kepalanya dengan putus asa dan menjawab: “Jangan bertanya kepada saya. Saya adalah seorang pria yang bingung.” Saya menduga ia pasti masih jatuh cinta. Ketika orang-orang lain mendengar tentang pengobatannya, mereka tersenyum, seolah-olah mengerti kesedihannya.. Tidaklah mudah bila problema emosional seperti cinta berhadapan denganmu. Tak lama lagi, hal itu akan membanjiri dan membingungkan batinmu sedemikian rupa sehingga setiap kemampuanmu untuk beralasan dengan jelas akan berada sejauh galaksi yang terdekat. Inilah yang dikatakan oleh seorang teman saya sebagai kegilaan sementara. Cinta sejenis inilah yang datang dengan nafsu dan keterikatan yang kuat. Satu sore ketika saya bertanya kepada sekelompok orang muda perihal yang sama, saya mendapatkan daftar jawaban sebagai berikut :
  • Cinta adalah ketika kamu nyata bertanggung jawab bagi orang lain dan ingin bersamanya
  • Cinta adalah banyak pengorbanan
  • Cinta adalah nafsu
  • Cinta adalah kebaikan
  • Cinta adalah memanjat sebuah gunung
  • Cinta mirip dengan mirip, sebuah cerita dongeng
  • Cinta tidak memiliki arti
  • Cinta adalah satu kata dengan empat huruf
  • Cinta adalah penderitaan
  • Cinta adalah berbahaya
  • Cinta adalah memeluh anak anjing yang hangat
  • Cinta adalah makanan.
      Baiklah, cinta adalah banyak hal bagi banyak orang. Namun apapun mereka jadinya, mereka dapat dikelompokkan ke dalam 2 kategori:
    1. Cinta yang tidak egois: Ini adalah jenis cinta yang menjaga dan mengharapkan kebahagiaann dan kesejahteraan pihak lain.
    2. Cinta egois: Ini adalah jenis cinta yang mengharapkan untuk memiliki dan melekat kepada pihak lain. Cinta ini datang dengan  nafsu dan diikuti dengan kecemburuan dan kekecewaan.
Kedua jenis cinta ini seringkali ditemui bercampur di dalam proporsi yang berbeda, dan apabila kita tidak dapat membedakanya, mereka tak dapat dibedakan. Tidaklah mudah untuk menemukan kemunculan sebuah cinta yang tidak egois yang murni karena orang-orang cepat menjadi melekat terhadap sesuatu yang menyenangkan. Sedangkan cinta egois, sangatlah banyak. Hanya dengan membayar sebuah kunjungan ke rumah pelacuran dan kamu akan akan mengetahui apa yang saya maksudkan.
            Apa yang memberikan ketertarikan kepada cinta egois adalah kesenangan dan kenikmatan yang muncul bersamanya. Namun demikian, setelah inisiasi kesenangan, muncul pengorbanan lain setelah pengorbanan, atau sebuah bangun pagi yang menyakitkan akibat mabuk-mabukan. Sebuah komitman harus dibuat oleh seorang atau pihak kedua, yang seringkali dalam bentuk sebuth penandatanganan kontrak pernikahan atau hanya pemanis mulut yang disertai janji-janji yang mengharapkan. Di dalam kenyataannya, ini adalah sebaris kesulitan untuk didefinisikan dan oleh karenanya waspadalah! Kebanyakan orang tidak berpikir cukup serius mengenai hal ini sampai akhirnya mereka terbakar. Buku-buku komentar Buddha Dhamma menceritakan kepada kita bagaimana dengan hanya melihat seseorang cinta, kedua pencinta itu terhempas menjadi debu oleh kekuatan nafsunya. Maklum, bukanlah jawabannya. Menjadi bhikkhu / pendeta lebih masuk akal asalkan kamu bertahan di dalam meditasi selama sisa kehidupanmu.

            Bahkan, di dalam kasus cinta tidak egois di mana pengorbanan terlibat untuk mengusir menjadi “bahagia”, kita juga mendengar banyak keluhan. Pengorbanan yang ekstrim akan mengubah menjadi sesuatu yang dipandang “edan” oleh orang-orang pragmatik. Hal itu melibatkan perjalanan penderitaan bertahun-tahun yang tak terbayangkan seperti melempar kehidupan lalu seseorang.
           
            Namun, itulah yang oleh Sang Buddha lakukan demi memenuhi kesempurnaanya, merenungkan pengetahuan  yang tanpa banding sehingga membuat beliau mampu menunjukkan jalan untuk menyelamatkan banyak mahluk seperti beliau yang dapat menyeberangi lingkaran kematian dan kelahiran – penderitaan, menuju perealisasian Nibbana



Bukit Semut

 1.                  Demikianlah telah saya dengar: Pada satu kesempatan, Sang Bhagava sedang menetap di Savatthi, di hutan Jeta, di taman milik Anathapindika. Pada kesempatan tersebut, yang mulia Kumara Kassapa sedang menetap di hutan Orang Buta.
            Kemudian, ketika malam telah cukup larut, sesosok mahluk dewa braha dengan penampilan indah yang menerangi seluruh hutan Orang Buta datang mendekati yang mulia Kumara Kassapa dan berdiri di satu sisi. Sambil berdiri, dewa itu berkata kepadanya;
2.         “ Bhikkhu,bhikkhu, bukit semut ini berasap pada malam hari dan membara pada siang hari.
            “Demikian, seorang guru Brahmana memerintahkan muridnya yang bijaksana: ‘Kamu yang bijaksana, selidikilah dengan menggunakan pisau’ Menyelidiki dengan menggunakan pisau, orang bijaksana itu melihat sebuah batangan / palang: ‘Sebuah batangan / palang, O Tuan yang mulia’
            “”Demikian, seorang guru Brahmana memerintahkan muridnya yang bijaksana : ‘Kamu yang bijaksana, buanglah batangan / palang itu; selidikilah dengan menggunakan pisau.’ Menyelidiki dengan menggunakan pisau, orang bijaksana itu melihat seekor katak. ‘Seekor katak, O Tuan yang mulia.’
            “”Demikian, seorang guru Brahmana memerintahkan muridnya yang bijaksana : ‘Kamu yang bijaksana, buanglah katak itu; selidikilah dengan menggunakan pisau.’ Menyelidiki dengan menggunakan pisau, orang bijaksana itu melihat sebuah garpu. Sebuah garpu, O Tuan yang mulia’
            “”Demikian, seorang guru Brahmana memerintahkan muridnya yang bijaksana : ‘Kamu yang bijaksana, buanglah katak itu; selidikilah dengan menggunakan pisau.’ Menyelidiki dengan menggunakan pisau, orang bijaksana itu melihat sebuah saringan. Sebuah saringan, O Tuan yang mulia’
            “”Demikian, seorang guru Brahmana memerintahkan muridnya yang bijaksana : ‘Kamu yang bijaksana, buanglah saringan itu; selidikilah dengan menggunakan pisau.’ Menyelidiki dengan menggunakan pisau, orang bijaksana itu melihat seekor kura-kura. Seekor kura-kura, O Tuan yang mulia’
            “”Demikian, seorang guru Brahmana memerintahkan muridnya yang bijaksana : ‘Kamu yang bijaksana, buanglah kura-kura itu; selidikilah dengan menggunakan pisau.’ Menyelidiki dengan menggunakan pisau, orang bijaksana itu melihat sebuah kapak dan balok: Sebuah kapak dan balok, O Tuan yang mulia’
            “”Demikian, seorang guru Brahmana memerintahkan muridnya yang bijaksana : ‘Kamu yang bijaksana, buanglah kapak dan balok itu; selidikilah dengan menggunakan pisau.’ Menyelidiki dengan menggunakan pisau, orang bijaksana itu melihat sepotong daging; ‘Sepotong daging,O Tuan yang mulia’
            “”Demikian, seorang guru Brahmana memerintahkan muridnya yang bijaksana : ‘Kamu yang bijaksana, buanglah daging itu; selidikilah dengan menggunakan pisau.’ Menyelidiki dengan menggunakan pisau, orang bijaksana itu melihat seekor ular Naga; ‘Seekor ular Naga,O Tuan yang mulia’
            “”Demikian, seorang guru Brahmana memerintahkan muridnya yang bijaksana :’Biarkanlah ular Naga iitu tinggal; janganlah disakiti ular Naga itu; hormatilah ular Naga itu’
            “Bhikkhu, kamu seyogyanya pergi mengunjungi Sang Bhagava dan menanyakan teka-teki ini. Seperti yang Sang Bhagava beritahukan kepadamu, demikian pula seyogyanya kamu mengingatnya. Bhikkhu, selain Sang Tathagata atau murid Sang Tathagata atau seseorang yang telah belajar dari Sang Tathagata, saya tidak melihat seorang pun di dunia ini dengan para Dewa-nya, para mara-nya, dan para Brahma-nya, di dalam generasi ini dengan para samana dan brahmana-nya, para pangeran-nya dan masyarakat-nya, yang penjelasan dari teka-teki ini dapat memuaskan batin.
            Inilah yang dikatakan oleh dewa brahma, yang menghilang dalam sekejap setelah mengatakan itu.
            3. Kemudian, ketika malam telah berlalu, yang mulia kumara Kassapa pergi mengunjungi Sang Bhagava. Setelah memberikan hormat kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahukan yang terjadi kepada Sang Bhagava. Kemudian ia bertanya kepada Sang Bhagava:” Tuan yang mulia, apakah bukit semut, apakah berasap pada malam hari, apakah membara pada siang hari itu? Siapa brahmana itu, siapa orang bijaksana itu? Apakah pisau, apakah menyelidiki, apakah batangan / palang, apakah katak, apakah garpu, apakah saringan, apakah kura-kura, apakah kapak dan balok, apakah sepotong daging, apakah ular Naga itu?”
            4. “ Bhikkhu, bukit semut adalah sebuah simbol dari jasmani ini, yang terdiri dari bentuk-bentuk materi, terdiri dari empat unsur pokok, dikondisikan oleh seorang ayah dan ibu, dibangun oleh nasi dan bubur yang direbus, dan subjek bagi ketidak-kekalan, menjadi usang dan lapuk, bercerai dan hancur.
            “Apa yang dipikirkan dan direnungkan oleh seseorang pada malam hari didasarkan pada tingkah lakunya selama siang hari, merupakan arti ‘berasap di malam hari’
            “Tingkah laku seseorang selama siang hari melalui badan jasmani, ucapan dan pikiran setelah berpikir dan merenungkan pada malam hari, merupakan arti ‘membara pada siang hari.’
            “Brahmana itu merupakan sebuah simbol bagi Tathagata, yang telah terbebas dan merealisasi pencerahan sempurna.  Orang bijaksana itu merupakan sebuah simbol bagi seorang bhikkhu di dalam latihan yang lebih tinggi. Pisau merupakan sebuah simbol bagi kebijaksanaan mulia. Menyelidiki merupakan sebuah simbol bagi memunculkan usaha / tenaga.
            “Batangan / palang merupakan sebuah simbol bagi kebodohan batin.’Buanglah batangan / palang; lenyapkan kegelapan batin. Inilah arti dari kamu yang bijaksana, selidikilah dengan menggunakan pisau.
            “Katak merupakan sebuah simbol bagi keputusasaan karena kemarahan.’Buanglah katak itu: lenyapkan keputusasaan karena kemarahan. Inilah arti dari kamu yang bijaksana, selidikilah dengan menggunakan pisau’
            “Garpu merupakan sebuah simbol bagi keraguan.’Buanglah garpu itu: lenyapkan keraguan. Inilah arti dari kamu yang bijaksana, selidikilah dengan menggunakan pisau.’
            “Saringan merupakan sebuah simbol bagi lima rintangan batin, yaitu nafsu indera, niat jahat, kemalasan dan keenganan, kegelisahan dan kekhawatiran, keraguan,’Buanglah saringan itu: lenyapkan lima rintangan batin. Inilah arti dari kamu yang bijaksana, selidikilah dengan menggunakan pisau.’
            “Kura-kura merupakan sebuah simbol bagi kemelekatan kepada lima perpaduan, yaitu perpaduan materi, perasaan, pencerapan, faktor-faktor batin, kesadaran.’Buanglah kura-kura: lenyapkan kemelekatan kepada lima perpaduan. Inilah arti dari kamu yang bijaksana, selidikilah dengan menggunakan pisau’
            “Kapak dan balok merupakan sebuah simbol bagi keterikatan kesenangan indera: bentuk yang dicerap oleh mata, yang diharapkan, diingini, disetujui, dan di sukai, berhubungan dengan nafsu indera, dan dirangsang oleh nafsu: suara dicerap oleh telinga...bebauan dicerap oleh hidung...kecapan dicerap oleh lidah...sentuhan dicerap oleh jasmani, yang diharapkan, diingini, disetujui, dan disukai, berhubungan dengan nafsu indera, dan dirangsang oleh nafsu. ‘Buanglah kapak dan balok: lenyapkan keterikatan kesenangan indera. Inilah arti dari kamu yang bijaksana, selidikilah dengan menggunakan pisau.’
            “Sepotong daging merupakan sebuah simbol bagi hasrat dan nafsu.’Buanglah sepotong daging: lenyapkan hasrat dan nafsu. Inilah arti dari kamu yang bijaksana, selidikilah dengan menggunakan pisau.’
            “Ular Naga merupakan sebuah simbol bagi seorang bhikkhu yang telah menghancurkan kekotoran batinnya. Inilah arti:Biarkanlah ular Naga tinggal: jangan sakiti ular naga; hormatilah ular Naga.”
            Itulah yang telah dikatakan oleh Sang Bhagava. Yang mulia Kumara Kassapa puas dan berbahagia di dalam kata-kata Sang Bhagava.

Catatan:
  • Ketika sutta ini dibabarkan, Kumara Kassapa masih sekha puggala, dan kemudan menjadi Arahat (Asekha puggala) setelah menggunakan sutta ini dalam subjek meditasinya.
  • Menurut Majjhima Nikaya Atthakatha, dewa dalam sutta ini adalah mahluk Anagami yang tinggal di Suddhavasa














Sambutlah Mentari

Merupakan hal yang baik memperingatkan seseorang untuk melakukan sesuatu di saat yang tepat. Sebagai contoh, apabila kita mengalami pendarahan, kita seyogyanya segera pergi ke rumah sakit terdekat untuk menyelamatkan kehidupan kita. Dalam hal ini, waktu sangatlah penting. Apabila kita terlambat satu jam, kita mungkin mengalami kematian. Demikian pula dengan keadaan darurat lain seperti misalnya radang usus buntu.

Mirip keadaan di atas, kita seyogyanya mempraktikkan Dhamma pada waktu yang tepat, yaitu sebelum kita menjadi terlalu tua atau terlalu sakit, atau kematian merenggut. Kita seharusnya mempraktikkan saat kita mempunyai seorang guru dan ketika kita memiliki kesempatan atau waktu. Masa muda merupakan waktu terbaik bagi pendidikan keagamaan, demikian pula masa / periode awal kehidupan (kehidupan dibagi ke dalam tiga periode) sangat ideal bagi praktik Satipatthana sangat sedikit kewajiban. Hal ini menjadi pengantar bagi kita untuk merenungkan ceritera anak seorang jutawan yang bernama Mahaddhana

Ketika masih muda, ia tidak pernah belajar, ketika ia menginjak dewasa, ia menikahi anak perempuan seorang kaya, yang juga seperti dia, tidak memiliki pendidikan. Ketika kedua orang tua keduanya meninggal dunia, mereka meninggalkan warisan bagi keduanya kekayaan yang sangat banyak sehingga sepasang suami isteri tersebut menjadi sangat kaya. Sepasang suami isteri itu bodoh dan hanya mengetahui bagaimana mengetahui bagaimana menghabiskan uang namun tidak mengetahui bagaimana menyimpan dan menumbuhkan kekayaannya. Mereka hanya makan dan minum serta memiliki waktu untuk menghamburkan uang. Ketika mereka telah menghabiskan semuanya, mereka menjual ladang dan kebunnya dan akhirnya rumahnya.

Dengan demikian, mereka menjadi miskin dan tak tertolongkan; dan dikarenakan mereka tidak mengetahui bagaimana mencari penghidupan, mereka terpaksa harus mengemis. Satu hari, Sang Buddha melihat anak orang kaya tersebut bersandar di dinding sebuah vihara memanfaatkan pemberian seorang samanera. Melihat hal ini, Sang Buddha tersenyum.

Yang Ariya Ananda bertanya kepada Sang Buddha, mengapa Beliau tersenyum dan Sang Buddha menjawav, “ Ananda, lihatlah anak dari seorang yang sangat kaya itu, ia telah menjalani kehidupan yang tak berarti, kehidupan tanpa tujuan kebahagiaan.

Apabila ia telah mempelajari untuk mencari kekayaan pada periode pertama kehidupannya, ia akan menjadi seorang terkaya; atau apabila ia menjadi bhikkhu, ia akan menjadi seorang Arahat dan isterinya akan menjadi seorang Anagami. Apabila ia mempelajari untuk mencari kekayaan pada periode kedua kehidupannya,ia akan menjadi orang kaya kedua, atau bila ia menjadi bhikkhu ia akan menjadi seorang Anagami sedangkan isterinya akan menjadi seorang Sakadagami. Apabila ia telah mempelajari untuk mencari kekayaan pada periode ketiga kehidupannya, ia akan menjadi seorang kaya ketiga, atau bila ia menjadi seorang bhikkhu, ia akan menjadi seorang Sakadagami sedangkan isterinya akan menjadi seorang Sotapanna

Namun demikian, dikarenakan dia tidak melakukan apa pun pada ketiga periode kehidupaannya itu, ia telah kehilangan semua kekayaan dunianya, ia juga kehilangan semua kesempatan merealisasi magga dan phala.

Kemudian Sang Buddha berkata dalam bentuk syair sebagai berikut :

“Acaritva brahmacariyam aladdha yobbane dhanam.
Jinnakoncava jhayanti khinamacche’va pallale.”

“Mereka, yang pada masa mudanya tidak menjalani kehidupan suci
ataupun mencapai kekayaan,
Merana dalam kesedihan seperti burung bangau tua di atas kolam
yang kehabisan ikan.”
(Dhammapada 155)

Betapa hal ini merupakan drama yang tragis. Sisi moral dari ceritera di atas adalah bahwa teman yang sejati (kalyanamitta) merupakan sine qua non. Yang Ariya Ananda satu kali berkata bahwa persahabatan mulia merupakan setengah kehidupan suci. Untuk hal ini, Sang Buddha menyanggah dengan mengatakan,’ Persahabatan suci merupakan kehidupan suci secara keseluruha, Saya adalah seorang sahabat sejati. Dikarenakan saya menjadi Sahabat Sejati bagi mereka yang hidupnya merupakan kelahiran menjadi terbebas dari kelahiran.’

Seseorang harus sangat hati-hati berhubungan dengan papamittata (persahabatan / perhubungan dengan pelaku kejahatan atau kelompok jahat). Karena perhubungan tersebut akan membawa ke kariyaparihani (kemerosotan atau kehilangan perbuatan baik atau praktik hal yang baik).

Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban seorang guru untuk mendidik dan membabarkan ajaran dengan akurat, dan merupakan kewajiban murid untuk belajar dan mempraktikkan ajaran dengan benar.

Semua aktivitas itu seyogyanya mengandung prinsip attasammapanidhi, yaitu menjalani hidup inii dengan menggunakan ‘make up’ atau ‘pakaian’ Dhamma

Apabila materi sesungguhnya baik, masyarakat akan memberitakannya sebagai hal yang baik; bagi yang berminat akan datang kepada kita dan berkata,’gunakan itu, itu sangat baik.’ Demikian pula dengan latihan ‘vipassana’. Karena diketahui membawa manfaat yang baik di dalam perbuatan bermanfaat, baik melalui jasmani, ucapan maupun pikiran, kita ingin untuk mempraktikkannya. Dengan demikian, kita menilainya, menghargainya dan mempraktikkannya. Dengan cara ini kita dapat membentuk diri kita dengan trampil.

Bila pakaian diiklankan karena memilik design yang menarik, wanita akan mengejarnya walaupun harganya mahal, karena secara meluas diiklankan, pasti sangat istimewa. Sehingga ketika dibeli dan dipakai, akan mempercantik diri seseorang. Demikian pula, kita sebelumnya berpakaian ketinggalan jaman dengan duccarita (perbuatan buruk); apabila kita sekarang mengembangkan perbuatan jasmani dan ucapan baik, kita dapat mendadani diri kita secara tepat. Selanjutnya kita seyogyanya mengembangkan batin dengan mengamati setiap objek yang muncul, tidak membiarkan batin mengembara sesukanya; dan membebaskan batin kita dari kekotoran mental. Bagi seorang meditator yang berlatih, satu menit perhatian murni dan konsentrasi terpusat, enam puluh kilesa (kekotoran batin) tidak muncul dan dalam satu jam pikiran murninya tiga ribu enam ratus. Ia menjadi cantik dan mencapai kualitas pencapaian spiritual yang prima. Ia menyempurnakan perbuatan jasmani, ucapan dan pikirannya. Ia mampu meneruskan perjalanan latihan (sikkha), yaitu sila (kemoralan), samadhi (konsentrasi) dan panna (kebijaksanaan)

Kejelekan tersebut ditransformasi menjadi kecantikan yang diinginkan oleh setiap insan.



Kisah Anak Lelaki Kecil

Seorang anak lelaki kecil masuk sekolah untuk pertama kalinya.
Dia adalah anak lelaki yang benar-benar masih kecil.
Dan itu adalah sekolah yang benar-benar besar.
Namun, ketika anak lelaki itu mengetahui bahwa dia dapat menuju ruangan kelasnya dengan berjalan lurus dari pintu luar, dia merasa senang sekali.
Dan sekolah itu tidak tampak terlalu besar lagi.

Suatu pagi, ketika anak lelaki kecil itu sudah bersekolah beberapa lama, gurunya berkata :

“Hari ini kita akan membuat lukisan.”
“Bagus!”pikir si anak lelaki kecil. Dia menggambar. Dia dapat menggambar segala macam: singa, harimau, ayam dan sapi, kereta api dan kapal. Dan dia mengeluarkan kotak krayonnya, dan mulai menggambar.

Tetapi gurunya berkata:
“Tunggu! Belum waktunya untuk memulai!”
Dan Guru itu menunggu sampai setiap orang tampak siap.

“Sekarang,” kata gurunya,
“Kita akan melukis bunga.”
“Bagus!”pikir anak lelaki itu.
Dia suka membuat bunga, dan dia mulai menggambar kembang-kembang yang indah dengan krayon berwarna merah jambu dan oranye dan biru.

Tetapi gurunya berkata,”Tunggu! Dan aku akan menunjukkan kepada kalian bagaimana cara membuatnya.”

Dan ia menggambar sekuntum bunga di papan tulis. Warnanya merah, dengan tangkai hijau.
“Begini,” kata gurunya.
“Sekarang kalian dapat memulai.’

Anak lelaki kecil itu memandang gambar bunga gurunya. Kemudian dia melihat bunganya sendiri, dia lebih menyukai bunganya ketimbang bunga gurunya. Tetapi dia tidak mengatakannya, dia hanya membalik kertasnya dan membuat sekuntum bunga seperti bunga gurunya. Warnanya merah, dengan tangkai hijau.

Pada lain hari, ketika si anak lelaki kecil telah dapat membuka sendiri pintu kelas itu dari luar, gurunya berkata,” Hari ini kita akan membuat sesuatu dengan tanah liat,”
‘Bagus!” pikir si anak lelaki kecil. Dia suka tanah liat.

Dia dapat membuat segalanya dengan tanah liat;
Ular dan manusia salju, gajah dan tikus, mobil dan truk.
Dan dia mulai mendorong dan menarik bola lempungnya

Tetapi gurunya berkata,
“Tunggu! Belum waktunya untuk  memulai!’
Dan Guru itu menunggu sampai setiap orang tampak siap.

“Sekarang,” kata gurunya,
“Kita akan membuat piring”
“Bagus!’ pikir anak lelaki itu.
Dia suka membuat piring, dan dia mulai membuat beberapa dari segala bentuk dan ukuran.

Tetapi gurunya berkata,
“Tunggu! Dan aku akan memperlihatkan kepada kalian bagaimana cara membuatnya,”
Dan ia memeragakan bagaimana cara membuat sebuah piring yang cekung.
‘Begini,” kata gurunya,
“Sekarang kalian dapat memulai.”

Anak lelaki kecil itu menatap piring gurunya kemudian melihat piringnya sendiri.
Dia lebih menyukai piring-piringnya ketimbang piring gurunya.

Tetapi dia tidak mengatakannya, dia hanya menggulung kembali lempungnya menjadi bola besar, dan membuat sebuah piring seperti piring gurunya. Bentuknya cekung.

Dan dalam waktu singkat, anak lelaki kecil itu belajar untuk menunggu dan melihat, dan membuat karya-karya yang persis dengan yang dibuat gurunya.

Dan dalam waktu singkat, dia tidak pernah lagi membuat karya-karyanya sendiri

Kemudian anak lelaki kecil itu dan keluarganya pindah ke rumah lain, di kota lain, dan anak lelaki kecil itu harus pergi ke sekolah lain.

Sekolah ini bahkan lebih besar dibandingkan sekolahnya terdahulu, dan tidak ada pintu lurus dari luar menuju ruangan kelasnya.
Dia harus menaiki beberapa anak tangga, dan berjalan menuruni suatu lorong yang panjang untuk sampai ke ruangannya.

Dan pada hari pertama dia berada di sana, gurunya berkata,” Hari ini kita akan membuat sebuah gambar.”
“Bagus!” pikir si anak lelaki kecil.
Dan dia menunggu gurunya memberitahu apa yang harus dia lakukan.
Tetapi gurunya tidak mengatakan apa pun.
Ia hanya berjalan mengelilingi ruangan.

Ketika ia menghampiri anak lelaki kecil itu, ia berkata,” Apakah kamu tidak ingin membuat sebuah gambar ?”
“Ya,” jawab si anak lelaki kecil. Lalu,”Apa yang akan kami buat?”
“Aku tidak tahu sampai kamu sendiri membuatnya,” kata gurunya.
“Bagaimana aku membuatnya?” tanya anak lelaki kecil itu.
“Bagaimana? Bagaimana pun yang kamu suka,” kata gurunya.
“Dan warna apa pun?” tanya si anak lelaki kecil.
“Warna apa pun,’ kata gurunya.

Lalu,” Kalau setiap orang membuat gambar yang sama, dan memakai warna yang sama, bagaimana aku bisa tahu siapa membuat apa, dan mana yang disebut mana?’
“Aku tidak tahu,”  kata si anak lelaki kecil.
Dan dia mulai membuat bunga-bunga berwarna merah jambu dan oranye dan biru.


Dia menyenangi sekolah barunya, sekalipun itu tidak mempunyai pintu untuk langsung masuk dari luar !

Monday 28 July 2014

Surga Seekor Katak

Ketika itu, Sang Buddha sedang menetap di Campa, di tepi kolam teratai Gaggara. Saat pagi hari dan setelah mengamati dengan penuh kasih sayang beliau ‘melihat’ Hari ini ketika di sore hari saya sedang mengajarkan Dhamma, seekor katak, mendengarkan suara saya dan menjadi tertarik, menderita sakit karena tangan seseorang, dan akan terbunuh; ia akan tumimbal lahir di alam dewa dan ini akan terjadi ketika sejumlah banyak orang sedang menyaksikan; dengan cara demikian sungguh merupakan penetrasi yang besar terhadap Dhamma.

Hari itu Beliau mengerjakannya dengan sangat baik, di tepi kolam Beliau mengajar kepada ‘pertemuan’ dari empat penjuru. Kemudian seekor katak, berpikir,” Inilah yang disebut Dhamma,” keluar dari kolam dan berdekam di belakang para pendengar. Dan seorang penggembala sapi, melihat Sang Buddha berbicara dan para hadirin mendengarkan dengan tenang, duduk bersandar pada siku tangannya, namun meremukkan katak tersebut. Katak itu tumimbal lahir di alam Surga Tiga Puluh Tiga Deva (Tavatimsa) dengan rumah keemasan sejauh 12 yojana dan disertai oleh para bidadari. Merenungkan terhadap apa yang telah dilakukannya untuk tumimbal lahir di sana ia tidak melihat apapun kecuali ketertarikannya terhadap suara Sang Buddha.

Sang Buddha mengungkapkan dengan mulia dan bertanya kepadanya ;
  1. “Siapa, yang cemerlang dengan potensi batin, dengan keindahan melebihi yang lain membuat semua penjuru terang, yang menghormat di bawah kaki saya?”
      Kemudian, deva muda tersebut, berkata tentang satu kehidupannya yang   lampau, menjelaskan dalam syair berikut :
  1. “Saya dahulu adalah seekor katak, penghuni air. Namun, ketika saya sedang mendengarkan Dhamma yang dibabarkan, seorang penggembala sapi tak sengaja membunuh saya
  2. Bagi sesaat ketenangan batin, terlihatlah potensi batin dan kemuliaan, keindahan saya dan terlihatlah pula kecemerlangan saya.
  3. Bagii mereka yang telah ‘lama’ mendengarkan Dhamma, Gotama itulah mereka yang telah merealisasi kekekalan di mana mereka tidak lagi menderita”

Kemudian Sang Buddha, melihat kualifikasi yang telah dicapai oleh para pendengar, mengajarkan Dhamma kembali secara penuh. Pada akhir dari ajaran tersebut, Dewa muda itu merealisasi tingkat kesucian pertama (Sotapanna).

Setelah menghormati Sang Buddha, Deva muda tersebut kembali ke alam surga


Sekolah Binatang

Satu bidang yang sangat kritis di dalam penyebaran dan praktik Buddha Dhamma yang tepat guna dalam rangka merealisasi kebahagiaan sejati adalah tempat penyebaran itu sendiri. Beragamnya tingkat kebudayaan, persepsi, minat, pengalamann dan kematangan batin para peserta di tempat penyebaran tersebut juga sangat mempengaruhi efektivitas dan kecepatan pencapaian tujuan tersebut.

Satu cerita di bawah ini dapat kita renungkan bersama maknanya sehingga kita dapat mengambil tindakan yang tepat di dalam upaya mencapai tujuan jangka pendek maupun merealisasi kebahagiaan sejati.

Alkisah pada satu masa, para binatang memutuskan bahwa mereka harus melakukan sesuatu yang heroik guna mengatasi masalah yang timbul dalam “satu dunia baru”. Jadi mereka mendirikan sebuah sekolah.

Mereka menerapkan kurikulum yang terdiri dari : lari, memanjat, renang, dan terbang. Untuk mempermudah pengaturan kurikulum itu, semua binatang harus mengambil semua mata pelajaran tersebut.

Itik piawai dalam renang, bahkan sesungguhnya lebih baik ketimbang instrukturnya, namun ia lulus dengan angka minimum dalam terbang dan sangat buruk dalam lari. Karena lamban dalam lari, ia harus tetap tinggal seusai jam sekolah dan juga melepaskan mata pelajaran renang hanya untuk belajar lari. Ini berlangsung terus-menerus sehingga kakinya yang berselaput menjadi terlalu letih dan ia pun hanya memperoleh angka rata-rata dalam renang.

Tetapi angka rata-rata masih bisa diterima di sekolah, jadi tak satupun yang merisaukannya kecuali si itik itu sendiri.

Kelinci menjadi juara kelas dalam lari, tetapi mengalami gangguan sarat karena terlampau banyak tugas perbaikan dalam mata pelajaran renang.

Tupai hebat dalam memanjat, namun ia merebakkan rasa frustrasi di kelas terbang di mana gurunya kecapekan menyuruhnya memulai dari tanah ke atas dan bukannya dari puncak pohon ke bawah. Ia juga dilanda “kram kaki dan tangan”, karena usaha yang terlampau keras serta kemudian malah mendapat nilai C dalam memanjat dan D dalam lari.

Sang elang adalah anak yang menyusahkan dan juga sulit didisiplinkan. Di dalam kelas memanjat, ia mengungguli semua binatang yang lain untuk sampai di puncak pohon, namun menuntut untuk menggunakan caranya sendiri untuk sampai di sana.

Pada akhir tahun, seekor belut yang abnormal yang dapat berenang dengan baik, dan juga sedikit lari, memanjat dan terbang, meraih angka rata-rata tertinggi dan menyampaikan kata-kata perpisahan.

Anjing padang rumput keluar dari sekolah dan menentang iuran sekolah karena pengelolanya tidak memperbolehkan pencantuman pelajaran menggali liang ke dalam kurikulum. Anjing-anjing itu mengirim anaknya untuk magang ke seekor luak dan kemudian bergabung dengan para marmut serta tikus celurut untuk memulai sebuah sekolah swasta yang sukses.


Apakah fabel ini memiliki suatu pesan moral ? Sepenuhnya tergantung tingkat ketajaman persepsi, analisa, kecenderungan dan pengalaman para pembaca.

Sunday 27 July 2014

Bhikkhu-Deva

Satu hari, ketika Sang Buddha tinggal di hutan Jeta, di dekat kota tua Savathi di India, Beliau dikunjungi mahluk dewa yang datang dari alam surga disertai sejumlah ribuan dewa.

Dewa tersebut memberikan hormatnya kepada Buddha dan kemudian mengemukakan keluhan demikian:

“O, Yang mulia Buddha,” ia meratap,”Tanah dewata begitu berisik! Dipenuhi oleh suara-suara para dewa ini. Mereka mirip setan (peta) bagi saya, meraung-raung di tanahnya. Sungguh membingungkan berada di tempat seperti ini. Tunjukkanlah kepada saya, bagaimana cara mengatasinya!’

Ini merupakan kata-kata penting bagi seorang dewa. Alam dewa dikenal dengan ciri khasnya, yaitu kesenangan. Penduduknya, berseni dan cenderung senang musik, hampir mirip ‘peta’ yang hidup sangat menderita dan menyedihkan. Beberapa ‘peta’  memiliki lambung yang besar dengan mulut sekecil lubang jarum sehingga mereka secara konstan merasakan kelaparan yang mengerikan dan mereka tak pernah terpuaskan.

Dengan memanfaatkan kekuatan batinnya, Buddha menyelidiki masa lalu dewa tersebut. Beliau mengetahui bahwa sebelum kehidupan ini, dewa tersebut adalah seorang manusia, seorang yang tekun mempraktikkan Dhamma. Sebagai seorang muda, ia telah memiliki keyakinan yang kuat terhadap ajaran Buddha sehingga ia meninggalkan kehidupan berumah tangga menjadi seorang bhikkhu. Setelah mengikuti gurunya selama lima tahun, ia telah terlatih baik di dalam peraturan moral dan vinaya ke-bhikkhu-an serta memiliki kemampuan bermeditasi secara mandiri. Kemudian ia tinggal sendiri di sebuah hutan.

Karena tekadnya yang kuat untuk merealisasi tingkat kesucian Arahat, latihan bhikkhu tersebut sangat gigih dan ekstrim. Demikian tinggi keyakinannya sehingga sebanyak mungkin waktu dihabiskan untuk bermeditasi, hampir tidak tidur dan tidak makan. Apa hendak dikata,  ia menghancurkan kesehatannya. Gas berakumulasi di dalam lambungnya, menyebabkan ia kembung dan nyeri seperti disayat pisau. Namun demikian bhikkhu tersebut tekadnya telah bulat dan tidak mengubah kebiasaannya. Nyerinya makin memburuk, dan memburuk, sampai satu hari, di pertengahan meditasi berjalan, nyeri tersebut memotong kehidupannya.

Secara instan, bhikkhu tersebut tumimbal lahir di alam dewa Tavatimsa. Tiba-tiba, seperti terjaga dari mimpi, ia tersadar berpakaian dengan cahaya keemasan dan berdiri di gerbang kerajaan dewa yang menakjubkan. Di dalam istana dewa itu terdapat seribu dewa, dengan pakaian lengkap dan sedang menunggu kedatangannya. Ia akan menjadi pemimpin para dewa itu. Mereka gembira melihat kehadirannya di pintu gerbang! Dengan berteriak, mereka membawakan instrumentalia / musik guna membuatnya gembira.

Sejauh ini, mahluk yang malang ini belum mengetahui bahwa ia baru saja meninggal di bumi dan sekarang telah tumimbal lahir di alam dewa. Dengan berpikiran bahwa para dewa tersebut tidak lain daripada para pengikut / umat yang sedang memberikan penghormatan kepadanya, dewa baru tersebut merendahkan pandangannya melihat tanah, dan menyibakkan satu ujung dari pakaian keemasannya ke bahunya. Dari tingkah laku jasmani ini, para dewa telah menduga situasinya dan berteriak,” Kamu sekarang berada di alam dewa. Bukanlah waktunya untuk bermeditasi. Ini adalah waktu bergembira dan santai. Kemarilah, mari kita berdansa!”

“Pendekar kita” ini terkejut mendengar mereka, karena ia sedang melatih pengendalian indera. Akhirnya beberapa dewa pergi ke peraduan dan membawakan sebuah cermin yang panjang. Astaga, dewa baru ini terkejut bahwa ia bukan lagi seorang bhikkhu. Tidak terdapat tempat di seluruh alam dewa itu yang cukup sepi untuk berlatih.  Ia merasa terjebak. Dengan kesal, ia berpikir,”Ketika saya meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memakai jubah, saya hanya bercita-cita untuk meraih kebahagiaan tertinggi, merealisasi tingkat kesucian Arahat. Saya mirip seorang petinju yang memasuki satu kompetisi mengharapkan sebuah medali emas dan sebagai gantinya diberikann sebongkah kubis (sejenis sayuran).

Eks-bhikkhu ini sangat takut sekalipun hanya untuk menginjakkan kakinya di gerbang istananya. Ia mengetahui bahwa kekuatan batinnya tidak akan kuat melawan kesenangan-kesenangan itu, yang jauh lebih memikat dibandingkan kesenangan di alam manusia. Tiba-tiba ia menyadari bahwa sebagai dewa ia memiliki kemampuan untuk mengunjungi alam manusia di mana Sang Buddha mengajarkan Dhamma. Realisasi ini membuatnya gembira.

“Saya dapat meraih kekayaan surgawi kapan saja,” pikirnya.” Namun kesempatan untuk bertemu seorang Buddha jelas sangat langka.” Tanpa berpikir kedua kali, ia pergi diikuti oleh ribuan pengikutnya.

Menemukan Buddha di hutan Jeta, dewa itu menghampiri dan memohon pertolongan. Buddha, terkesan oleh kegigihannya dalam berlatih, dan memberikan petunjuk demikian :

“O, dewa, telah lurus jalan yang telah kamu lalui. Hal itu akan membawamu kepada’keselamatan’, jauh dari ketakutan, yaitu meraih cita-cita luhurmu. Kamu seyogyanya naik di dalam sebuah kendaraan yang sunyi sempurna. Kedua roda keretamu adalah semangat batin dan fisik. Kesungguhan adalah sandaran punggung kereta tersebut. Perhatian murni adalah tentara yang mengelilingi kereta ini, dan pandangan benar adalah pengemudi keretanya. Seseorang, baik pria maupun perempuan, yang memiliki kendaraaan seperti itu dan mengendarainya dengan baik, tak diragukan lagi akan merealisasi Nibbana.”


Cerita tentang bhikkhu-dewa ini disarikan dari kumpulan naskah pali, yaitu Samyutta Nikaya (bagian Sutta Pitaka, Tipitaka). Cerita ini mengilustrasikan banyak hal tentang latihan meditasi, yaitu semangat, pandangan benar, pengendalian indera, tingkah laku moral, kesungguhan hati, kebenaran metode latihan dan sebagainya.

Saturday 26 July 2014

Ibarat Batang Kayu (Darukkhandhopama Sutta)

Satu hari Sang Buddha sedang duduk di bawah sebuah pohon di tepi sungai Ganga di dekat kota Kosambi disertai lima ratus orang bhikkhu.

Sang Buddha melihat sebatang kayu yang sangat besar sedang terbawa oleh arus sungai. Beliau menunjuk ke arah batang kayu tersebut dan berkata, “ O para bhikkhu, apakah kamu melihat bahwa sebatang kayu yang besar sedang terbawa oleh arus air sungai?” Dan para bhikkhu menjawab, “Ya, Yang Mulia, kami melihatnya.”

Kemudian Sang Buddha melanjutkan,
  1. “Apabila batang kayu tersebut tidak tertambat di sisi sungai sebelah sini, batang kayu tersebut akan mencapai lautan.
  2. Apabila batang kayu tersebut tidak tertambat di sisi sungai sebelah seberang, batang kayu tersebut akan mencapai lautan
  3. Apabila batang kayu tersebut tidak tenggelam di dasar sungai, batang kayu tersebut akan mencapai lautan
  4. Apabila batang kayu tersebut tidak mendarat di pulau kecil di tengah sungai (delta), batang kayu tersebut akan mencapai lautan.
  5. Apabiila batang kayu tersebut tidak diambil oleh manusia, batang kayu tersebut akan mencapai lautan.
  6. Apabila batang kayu tersebut tidak diambil oleh dewa, batang kayu tersebut akan mencapai lautan
  7. Apabila batang kayu tersebut tidak tenggelam ke dalam satu pusaran air, batang kayu tersebut akan mencapai lautan.
  8. Apabiila batang kayu tersebut tidak hancur /membusuk, batang kayu tersebut akan mencapai lautan.

Di sini Sang Buddha menunjukkan bahwa apabila tidak terdapat delapan kondisi buruk ini, batang kayu tersebut akan mencapai lautan. Kemudian Sang Buddha berkata, “Mengapa batang kayu ini akan mencapai lautan? Batang kayu ini akan mencapai lautan karena arus sungai ini mengarah menuju lautan, dan tidak ada kondisi yang buruk tersebut.”

“Dengan cara yang sama, para bhikkhu, kamu akan merealisasi Nibbana apabila kamu tidak mengkondisikan diri dengan delapan kekeliruan. Mengapa? Karena, pengertian benar (samma ditthi) mengarah menuju terealisasinya Nibbana, terhentinya dukkha. Namun demikian, para bhikkhu, ini hanyalah satu perumpamaan.”

Kemudian salah seorang bhikkhu memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskan perumpamaan itu, dan Sang Buddha menjelaskannya, demikian:

  1. Tertambat di sisi sungai sebelah sini mengumpamakan melekat terhadap enam pintu indera, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, sentuhan, berpikir.
  2. Tertambat di sisi sungai sebelah seberang mengumpamakan melekat terhadap objek penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, sentuhan, berpikir.
  3. Tenggelam di dasar sungai mengumpamakan melekat terhadap mahluk hidup atau benda mati
  4. Mendarat di pulau di tengah sungai (delta) mengumpamakan kesombongan, kebanggaan atau keangkuhan.
  5. Diambil oleh manusia mengumpamakan ‘bhikkhu hidup dan bergaul dengan tidak sepantasnya terhadap umat awam’
  6. Diambil oleh dewa mengumpamakan ‘niat melakukan perbuatan baik untuk terlahir di surga, di alam para dewa dan brahma’
  7. Tenggelam ke dalam satu pusaran air mengumpamakan terjebak / melekat pada kegemaran akan lima jenis kesenangan indera.
  8. Menjadi hancur / membusuk mengumpamakan berpura-pura suci padahal sesungguhnya tidak suci.

Walaupun Sang Buddha mengalamatkan khotbah ini kepada para bhikkhu (karena ketika itu para bhikkhu menyertainya), uraian ini sebenarnya mengatasi ras, agama, bangsa atau golongan (berlaku universal). Setiap orang yang tidak memiliki delapan kekeliruan di atas dapat mencapai pantai, merealisasi kebahagiaan sejati, terhentinya dukkha, Nibbana. Ketika seseorang mencapai pantai, merealisasi Nibbana, ia telah terbebas dari lingkaran tumimbal lahir dan telah mengatasi dukkha.

Dalam khotbah ini, Sang Buddha mengumpamakan ‘lautan’untuk ‘terhentinya dukkha’. Dan hal ini harap tidak dikacaukan dengan istilah ‘lautan’ pada khotbah (sutta) lain yang mengumpamakan ‘lingkaran tumimbal lahir’