Merupakan hal yang baik memperingatkan seseorang untuk melakukan sesuatu di
saat yang tepat. Sebagai contoh, apabila kita mengalami pendarahan, kita
seyogyanya segera pergi ke rumah sakit terdekat untuk menyelamatkan kehidupan
kita. Dalam hal ini, waktu sangatlah penting. Apabila kita terlambat satu jam,
kita mungkin mengalami kematian. Demikian pula dengan keadaan darurat lain
seperti misalnya radang usus buntu.
Mirip keadaan di atas, kita seyogyanya mempraktikkan Dhamma pada waktu yang
tepat, yaitu sebelum kita menjadi terlalu tua atau terlalu sakit, atau kematian
merenggut. Kita seharusnya mempraktikkan saat kita mempunyai seorang guru dan
ketika kita memiliki kesempatan atau waktu. Masa muda merupakan waktu terbaik
bagi pendidikan keagamaan, demikian pula masa / periode awal kehidupan
(kehidupan dibagi ke dalam tiga periode) sangat ideal bagi praktik Satipatthana
sangat sedikit kewajiban. Hal ini menjadi pengantar bagi kita untuk merenungkan
ceritera anak seorang jutawan yang bernama Mahaddhana
Ketika masih muda, ia tidak pernah belajar, ketika ia menginjak dewasa, ia
menikahi anak perempuan seorang kaya, yang juga seperti dia, tidak memiliki
pendidikan. Ketika kedua orang tua keduanya meninggal dunia, mereka
meninggalkan warisan bagi keduanya kekayaan yang sangat banyak sehingga
sepasang suami isteri tersebut menjadi sangat kaya. Sepasang suami isteri itu
bodoh dan hanya mengetahui bagaimana mengetahui bagaimana menghabiskan uang
namun tidak mengetahui bagaimana menyimpan dan menumbuhkan kekayaannya. Mereka
hanya makan dan minum serta memiliki waktu untuk menghamburkan uang. Ketika
mereka telah menghabiskan semuanya, mereka menjual ladang dan kebunnya dan
akhirnya rumahnya.
Dengan demikian, mereka menjadi miskin dan tak tertolongkan; dan
dikarenakan mereka tidak mengetahui bagaimana mencari penghidupan, mereka
terpaksa harus mengemis. Satu hari, Sang Buddha melihat anak orang kaya
tersebut bersandar di dinding sebuah vihara memanfaatkan pemberian seorang
samanera. Melihat hal ini, Sang Buddha tersenyum.
Yang Ariya Ananda bertanya kepada Sang Buddha, mengapa Beliau tersenyum dan
Sang Buddha menjawav, “ Ananda, lihatlah anak dari seorang yang sangat kaya
itu, ia telah menjalani kehidupan yang tak berarti, kehidupan tanpa tujuan
kebahagiaan.
Apabila ia telah mempelajari untuk mencari kekayaan pada periode pertama
kehidupannya, ia akan menjadi seorang terkaya; atau apabila ia menjadi bhikkhu,
ia akan menjadi seorang Arahat dan
isterinya akan menjadi seorang Anagami.
Apabila ia mempelajari untuk mencari kekayaan pada periode kedua
kehidupannya,ia akan menjadi orang kaya kedua, atau bila ia menjadi bhikkhu ia
akan menjadi seorang Anagami
sedangkan isterinya akan menjadi seorang Sakadagami.
Apabila ia telah mempelajari untuk mencari kekayaan pada periode ketiga
kehidupannya, ia akan menjadi seorang kaya ketiga, atau bila ia menjadi seorang
bhikkhu, ia akan menjadi seorang Sakadagami
sedangkan isterinya akan menjadi seorang Sotapanna
Namun demikian, dikarenakan dia tidak melakukan apa pun pada ketiga periode
kehidupaannya itu, ia telah kehilangan semua kekayaan dunianya, ia juga
kehilangan semua kesempatan merealisasi magga dan phala.
Kemudian Sang Buddha berkata dalam bentuk syair sebagai berikut :
“Acaritva brahmacariyam
aladdha yobbane dhanam.
Jinnakoncava jhayanti
khinamacche’va pallale.”
“Mereka, yang pada masa
mudanya tidak menjalani kehidupan suci
ataupun mencapai kekayaan,
Merana dalam kesedihan
seperti burung bangau tua di atas kolam
yang kehabisan ikan.”
(Dhammapada 155)
Betapa hal ini merupakan drama yang tragis. Sisi moral dari ceritera di
atas adalah bahwa teman yang sejati (kalyanamitta) merupakan sine qua non. Yang
Ariya Ananda satu kali berkata bahwa persahabatan mulia merupakan setengah
kehidupan suci. Untuk hal ini, Sang Buddha menyanggah dengan mengatakan,’
Persahabatan suci merupakan kehidupan suci secara keseluruha, Saya adalah
seorang sahabat sejati. Dikarenakan saya menjadi Sahabat Sejati bagi mereka
yang hidupnya merupakan kelahiran menjadi terbebas dari kelahiran.’
Seseorang harus sangat hati-hati berhubungan dengan papamittata
(persahabatan / perhubungan dengan pelaku kejahatan atau kelompok jahat).
Karena perhubungan tersebut akan membawa ke kariyaparihani
(kemerosotan atau kehilangan perbuatan baik atau praktik hal yang baik).
Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban seorang guru untuk mendidik dan
membabarkan ajaran dengan akurat, dan merupakan kewajiban murid untuk belajar
dan mempraktikkan ajaran dengan benar.
Semua aktivitas itu seyogyanya mengandung prinsip attasammapanidhi, yaitu menjalani hidup inii dengan menggunakan
‘make up’ atau ‘pakaian’ Dhamma
Apabila materi sesungguhnya baik, masyarakat akan memberitakannya sebagai
hal yang baik; bagi yang berminat akan datang kepada kita dan berkata,’gunakan
itu, itu sangat baik.’ Demikian pula dengan latihan ‘vipassana’. Karena
diketahui membawa manfaat yang baik di dalam perbuatan bermanfaat, baik melalui
jasmani, ucapan maupun pikiran, kita ingin untuk mempraktikkannya. Dengan
demikian, kita menilainya, menghargainya dan mempraktikkannya. Dengan cara ini
kita dapat membentuk diri kita dengan trampil.
Bila pakaian diiklankan karena memilik design yang menarik, wanita akan
mengejarnya walaupun harganya mahal, karena secara meluas diiklankan, pasti
sangat istimewa. Sehingga ketika dibeli dan dipakai, akan mempercantik diri
seseorang. Demikian pula, kita sebelumnya berpakaian ketinggalan jaman dengan duccarita (perbuatan buruk); apabila
kita sekarang mengembangkan perbuatan jasmani dan ucapan baik, kita dapat
mendadani diri kita secara tepat. Selanjutnya kita seyogyanya mengembangkan
batin dengan mengamati setiap objek yang muncul, tidak membiarkan batin
mengembara sesukanya; dan membebaskan batin kita dari kekotoran mental. Bagi
seorang meditator yang berlatih, satu menit perhatian murni dan konsentrasi
terpusat, enam puluh kilesa (kekotoran batin) tidak
muncul dan dalam satu jam pikiran murninya tiga ribu enam ratus. Ia menjadi
cantik dan mencapai kualitas pencapaian spiritual yang prima. Ia menyempurnakan
perbuatan jasmani, ucapan dan pikirannya. Ia mampu meneruskan perjalanan
latihan (sikkha), yaitu sila (kemoralan),
samadhi (konsentrasi) dan panna
(kebijaksanaan)
Kejelekan tersebut ditransformasi menjadi kecantikan yang diinginkan oleh
setiap insan.
No comments:
Post a Comment