Satu hari Sang Buddha sedang duduk di bawah sebuah pohon di tepi sungai
Ganga di dekat kota Kosambi disertai lima ratus orang bhikkhu.
Sang Buddha melihat sebatang kayu yang sangat besar sedang terbawa oleh arus
sungai. Beliau menunjuk ke arah batang kayu tersebut dan berkata, “ O para
bhikkhu, apakah kamu melihat bahwa sebatang kayu yang besar sedang terbawa oleh
arus air sungai?” Dan para bhikkhu menjawab, “Ya, Yang Mulia, kami melihatnya.”
Kemudian Sang Buddha melanjutkan,
- “Apabila
batang kayu tersebut tidak tertambat di sisi sungai sebelah sini,
batang kayu tersebut akan mencapai lautan.
- Apabila
batang kayu tersebut tidak tertambat di sisi sungai sebelah seberang,
batang kayu tersebut akan mencapai lautan
- Apabila
batang kayu tersebut tidak tenggelam di dasar sungai, batang kayu
tersebut akan mencapai lautan
- Apabila
batang kayu tersebut tidak mendarat di pulau kecil di tengah sungai
(delta), batang kayu tersebut akan mencapai lautan.
- Apabiila
batang kayu tersebut tidak diambil oleh manusia, batang kayu
tersebut akan mencapai lautan.
- Apabila
batang kayu tersebut tidak diambil oleh dewa, batang kayu tersebut
akan mencapai lautan
- Apabila
batang kayu tersebut tidak tenggelam ke dalam satu pusaran air,
batang kayu tersebut akan mencapai lautan.
- Apabiila
batang kayu tersebut tidak hancur /membusuk, batang kayu tersebut
akan mencapai lautan.
Di sini Sang Buddha menunjukkan bahwa apabila tidak terdapat delapan
kondisi buruk ini, batang kayu tersebut akan mencapai lautan. Kemudian Sang
Buddha berkata, “Mengapa batang kayu ini akan mencapai lautan? Batang kayu ini
akan mencapai lautan karena arus sungai ini mengarah menuju lautan, dan tidak ada
kondisi yang buruk tersebut.”
“Dengan cara yang sama, para bhikkhu, kamu akan merealisasi Nibbana apabila
kamu tidak mengkondisikan diri dengan delapan kekeliruan. Mengapa? Karena,
pengertian benar (samma ditthi) mengarah menuju terealisasinya Nibbana,
terhentinya dukkha. Namun demikian, para bhikkhu, ini hanyalah satu perumpamaan.”
Kemudian salah seorang bhikkhu memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskan
perumpamaan itu, dan Sang Buddha menjelaskannya, demikian:
- Tertambat
di sisi sungai sebelah sini mengumpamakan melekat terhadap enam pintu indera, yaitu indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, sentuhan, berpikir.
- Tertambat
di sisi sungai sebelah seberang mengumpamakan melekat terhadap objek penglihatan, pendengaran,
penciuman, pengecapan, sentuhan, berpikir.
- Tenggelam
di dasar sungai
mengumpamakan melekat terhadap mahluk hidup atau benda mati
- Mendarat
di pulau di tengah sungai (delta) mengumpamakan kesombongan, kebanggaan atau
keangkuhan.
- Diambil
oleh manusia
mengumpamakan ‘bhikkhu hidup dan bergaul dengan tidak sepantasnya terhadap
umat awam’
- Diambil
oleh dewa mengumpamakan
‘niat melakukan perbuatan baik untuk terlahir di surga, di alam para dewa
dan brahma’
- Tenggelam
ke dalam satu pusaran air mengumpamakan terjebak / melekat pada kegemaran akan lima jenis
kesenangan indera.
- Menjadi
hancur / membusuk
mengumpamakan berpura-pura suci padahal sesungguhnya tidak suci.
Walaupun Sang Buddha mengalamatkan khotbah ini kepada para bhikkhu (karena
ketika itu para bhikkhu menyertainya), uraian ini sebenarnya mengatasi ras,
agama, bangsa atau golongan (berlaku universal). Setiap orang yang tidak
memiliki delapan kekeliruan di atas dapat mencapai pantai, merealisasi
kebahagiaan sejati, terhentinya dukkha, Nibbana. Ketika seseorang mencapai
pantai, merealisasi Nibbana, ia telah terbebas dari lingkaran tumimbal lahir
dan telah mengatasi dukkha.
Dalam khotbah ini, Sang Buddha mengumpamakan ‘lautan’untuk ‘terhentinya
dukkha’. Dan hal ini harap tidak dikacaukan dengan istilah ‘lautan’ pada khotbah (sutta) lain yang
mengumpamakan ‘lingkaran tumimbal lahir’