Pannakatha

Seperti apakah konsep anicca dukkha anatta dalam penerapan kehidupan keseharian, mari kita simak kumpulan artikel artikel Pannakatha yang merupakan karya terjemahan bercampur dengan kompilasi dari berbagai buku yang dilakukan oleh penyusun dan diterbitkan dalam bentuk leaflet sejak tahun 1990-an dalam rangka memenuhi kebutuhan permenungan pokok-pokok penting hakikat kehidupan, dan atas praktik Buddha dhamma di dalam kehidupan sehari-hari dari beberapa pendukung yang menyebarkannya di berbagai kota di Nusantara. Atas berbagai masukan, maka leaflet tersebut di kumpulkan dan di rangkai kembali menjadi satu didalam buku kecil dan sekarang di tuangkan dalam bentuk website ini. Semoga dapat memberikan sumbangsih memperkaya referensi dan bahan renungan Buddha Dhamma dalam praktik keseharian dengan berbagai perumpamaan yang tersebar didalam Tipitaka

Dhamma menjadi berkah mulia bagi kita

Selamat Rodjali Webblog : http://tilakkhana-tigacorakkehidupan.blogspot.com

Creator:Mirawati Mulyadi

Saturday 26 July 2014

Ibarat Batang Kayu (Darukkhandhopama Sutta)

Satu hari Sang Buddha sedang duduk di bawah sebuah pohon di tepi sungai Ganga di dekat kota Kosambi disertai lima ratus orang bhikkhu.

Sang Buddha melihat sebatang kayu yang sangat besar sedang terbawa oleh arus sungai. Beliau menunjuk ke arah batang kayu tersebut dan berkata, “ O para bhikkhu, apakah kamu melihat bahwa sebatang kayu yang besar sedang terbawa oleh arus air sungai?” Dan para bhikkhu menjawab, “Ya, Yang Mulia, kami melihatnya.”

Kemudian Sang Buddha melanjutkan,
  1. “Apabila batang kayu tersebut tidak tertambat di sisi sungai sebelah sini, batang kayu tersebut akan mencapai lautan.
  2. Apabila batang kayu tersebut tidak tertambat di sisi sungai sebelah seberang, batang kayu tersebut akan mencapai lautan
  3. Apabila batang kayu tersebut tidak tenggelam di dasar sungai, batang kayu tersebut akan mencapai lautan
  4. Apabila batang kayu tersebut tidak mendarat di pulau kecil di tengah sungai (delta), batang kayu tersebut akan mencapai lautan.
  5. Apabiila batang kayu tersebut tidak diambil oleh manusia, batang kayu tersebut akan mencapai lautan.
  6. Apabila batang kayu tersebut tidak diambil oleh dewa, batang kayu tersebut akan mencapai lautan
  7. Apabila batang kayu tersebut tidak tenggelam ke dalam satu pusaran air, batang kayu tersebut akan mencapai lautan.
  8. Apabiila batang kayu tersebut tidak hancur /membusuk, batang kayu tersebut akan mencapai lautan.

Di sini Sang Buddha menunjukkan bahwa apabila tidak terdapat delapan kondisi buruk ini, batang kayu tersebut akan mencapai lautan. Kemudian Sang Buddha berkata, “Mengapa batang kayu ini akan mencapai lautan? Batang kayu ini akan mencapai lautan karena arus sungai ini mengarah menuju lautan, dan tidak ada kondisi yang buruk tersebut.”

“Dengan cara yang sama, para bhikkhu, kamu akan merealisasi Nibbana apabila kamu tidak mengkondisikan diri dengan delapan kekeliruan. Mengapa? Karena, pengertian benar (samma ditthi) mengarah menuju terealisasinya Nibbana, terhentinya dukkha. Namun demikian, para bhikkhu, ini hanyalah satu perumpamaan.”

Kemudian salah seorang bhikkhu memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskan perumpamaan itu, dan Sang Buddha menjelaskannya, demikian:

  1. Tertambat di sisi sungai sebelah sini mengumpamakan melekat terhadap enam pintu indera, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, sentuhan, berpikir.
  2. Tertambat di sisi sungai sebelah seberang mengumpamakan melekat terhadap objek penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, sentuhan, berpikir.
  3. Tenggelam di dasar sungai mengumpamakan melekat terhadap mahluk hidup atau benda mati
  4. Mendarat di pulau di tengah sungai (delta) mengumpamakan kesombongan, kebanggaan atau keangkuhan.
  5. Diambil oleh manusia mengumpamakan ‘bhikkhu hidup dan bergaul dengan tidak sepantasnya terhadap umat awam’
  6. Diambil oleh dewa mengumpamakan ‘niat melakukan perbuatan baik untuk terlahir di surga, di alam para dewa dan brahma’
  7. Tenggelam ke dalam satu pusaran air mengumpamakan terjebak / melekat pada kegemaran akan lima jenis kesenangan indera.
  8. Menjadi hancur / membusuk mengumpamakan berpura-pura suci padahal sesungguhnya tidak suci.

Walaupun Sang Buddha mengalamatkan khotbah ini kepada para bhikkhu (karena ketika itu para bhikkhu menyertainya), uraian ini sebenarnya mengatasi ras, agama, bangsa atau golongan (berlaku universal). Setiap orang yang tidak memiliki delapan kekeliruan di atas dapat mencapai pantai, merealisasi kebahagiaan sejati, terhentinya dukkha, Nibbana. Ketika seseorang mencapai pantai, merealisasi Nibbana, ia telah terbebas dari lingkaran tumimbal lahir dan telah mengatasi dukkha.

Dalam khotbah ini, Sang Buddha mengumpamakan ‘lautan’untuk ‘terhentinya dukkha’. Dan hal ini harap tidak dikacaukan dengan istilah ‘lautan’ pada khotbah (sutta) lain yang mengumpamakan ‘lingkaran tumimbal lahir’



Batu Karang dan Mentega

Ketika Sang Buddha menetap di Nalanda di Kebun Mangga Pavarika, seorang kepala kampung putera Asinbandhaka berkata kepada Sang Buddha bahwa para brahamana dari Barat, pembawa pot air, pemakai parfum lily, yang menyucikan menggunakan air, pemuja api, mengakhiri upacara kematian dengan cara mengangkat orang mati itu ke atas dan membawanya keluar, memanggil namanya dan hal ini dipercayai untuk mempercepat orang mati itu ke alam surga. Dan Sang Buddha sebagai suciwan yang telah merealisasi pencerahan sempurna dapat membawa semua mahluk di dunia ini ke alam berbahagia, di dunia surgawi.

Atas pernyataan tersebut, Sang Buddha bertanya dengan mengemukakan dua buah perumpamaan yang patut kita renungkan setiap saat sehingga tidak tergoda oleh fasilitas maupun ancaman oknum penjual kepercayaan religius, sebagai berikut :

  1. Andaikata, seseorang melemparkan sebuah batu karang yang amat besar ke dalam sebuah kolam air yang sangat dalam; kemudian sejumlah besar orang berkumpul dan bergerombol bersama dan berdoa serta memujinya dan melakukannya dengan merangkapkan kedua tangan ke atas (beranjali), dan berkata:”Naiklah, batu karang yang baik! Mengambanglah, batu karang yang baik ! mengambanglah ke tepi, batu karang yang baik !” Mungkinkah karena doa-doa, pujian yang dilakukan dengan penuh hormat dengan merangkapkan kedua belah tangan ke atas, menyebabkan batu karang yang amat besar itu naik ke atas dan mengambang ke  tepi ?’ Asibandhaka menjawab bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Sang Buddha melanjutkan bahwa demikian pula halnya dengan siapa saja sebagai pengambil kehidupan mahluk lain, pengambil barang yang tidak diberikan, pelaku yang salah dalam bidang seksual, pembohong, penyebar fitnah, penguncar kata-kata kasar, pembicara hal yang tidak bermanfaat, orang yang serakah, orang yang batinnya diliputi niat jahat dan yang batinnya menganut pandangan keliru, betapapun besarnya kumpulan / gerombolan orang-orang yang berdoa bersama, melakukan pujian, penghormatan dengan merangkapkan kedua belah tangan ke atas dengan berkata: “Semoga orang ini, ketika tubuhnya meluruh, setelah kematiannya tumimbal lahir di alam berbahagia, di dunia Surga. “ Orang tersebut, ketika tubuhnya meluruh, setelah kematiannya tetap tumumbal lahir di alam menyedihkan, di alam rendah, di Neraka

  1. Andaikata, seseorang menyelam membawa guci berisi mentega atau minyak ke dalam sebuah kolam air yang sangat dalam, lalu memecahkan guci tersebut sehingga pecahan guci itu tenggelam sedangkan mentega atau minyaknya mengambang naik ke permukaan air; kemudian sejumlah besar orang berkumpul dan bergerombol bersama dan berdoa serta memujinya dan melakukannya dengan merangkapkan kedua tangan ke atas (beranjali), dan berkata:”Turunlah, mentega yang baik! Tenggelamlah ke dasar kolam, mentega yang baik! Pergilah ke dasar kolam, mentega dan minyak yang baik ! “ Mungkinkah karena doa-doa, pujian yang dilakukan dengan penuh hormat dengan merangkapkan kedua belah tangan ke atas menyebabkan mentega atau minyak itu turun ke bawah dan tenggelam ke dasar kolam?’Asibandhaka menjawab bahwa hal ini tidak mungkin terjadi. Sang Buddha melanjutkan bahwa demikian pula halnya dengan siapa saja yang menghindari mengambil kehidupan mahluk lain, menghindari mengambil barang yang tidak diberikan, menghindari perilaku yang salah dalam bidang seksual, menghindari berbohong, menghindari memfitnah, menghindari menguncarkan kata-kata kasar, menghindari berbicara hal yang tidak bermanfaat, orang yang tidak serakah, orang yang batinnya tidak diliputi niat jahat dan yang batinnya menganut pandangan benar, betapapun besarnya kumpulan / gerombolan orang-orang yang berdoa bersama, melakukan pujian, penghormatan dengan merangkapkan kedua belah tangan ke atas dengan berkata: “Semoga orang ini, ketika tubuhnya meluruh, setelah kematiannya tumimbal lahir di alam menyedihkan, di Neraka.” Orang tersebut, ketika tubuhnya meluruh, setelah kematiannya tetap tumimbal lahir di alam berbahagia, di dunia Surgawi

Demikianlah perumpamaan yang dipergunakan oleh Sang Buddha yang menyebabkan putera Asibandhaka berkeyakinan kepada Tiratana.

Catatan :
Sutta tersebut menegaskan bahwa :

  1. Kamma mengkondisikan Vipaka yang selaras.
  2. Harapan tidak akan terealisasi apabila tidak didukung oleh perbuatan yang tepat.