Pannakatha

Seperti apakah konsep anicca dukkha anatta dalam penerapan kehidupan keseharian, mari kita simak kumpulan artikel artikel Pannakatha yang merupakan karya terjemahan bercampur dengan kompilasi dari berbagai buku yang dilakukan oleh penyusun dan diterbitkan dalam bentuk leaflet sejak tahun 1990-an dalam rangka memenuhi kebutuhan permenungan pokok-pokok penting hakikat kehidupan, dan atas praktik Buddha dhamma di dalam kehidupan sehari-hari dari beberapa pendukung yang menyebarkannya di berbagai kota di Nusantara. Atas berbagai masukan, maka leaflet tersebut di kumpulkan dan di rangkai kembali menjadi satu didalam buku kecil dan sekarang di tuangkan dalam bentuk website ini. Semoga dapat memberikan sumbangsih memperkaya referensi dan bahan renungan Buddha Dhamma dalam praktik keseharian dengan berbagai perumpamaan yang tersebar didalam Tipitaka

Dhamma menjadi berkah mulia bagi kita

Selamat Rodjali Webblog : http://tilakkhana-tigacorakkehidupan.blogspot.com

Creator:Mirawati Mulyadi

Tuesday 22 July 2014

Harapan Optimis Seekor Lebah

“Malam akan berlalu, terangnya pagi akan datang,
Matahari akan terbit, bunga teratai akan tertawa’
Demikian senang lebah di atas kaliks sebuah teratai
O doom! Doom! Seekor gajah merobek tanaman teratai itu!

Sore itu, matahari dengan perlahan tenggelam di sebelah Barat. Burung-burung tergesa-gesa pergi ke sarangnya sementara binatang malam yang liar mulai berkeliling mencari mangsa. Saat ini seekor lebah, seekor lebah kecil yang sibuk,sedang berdengung ke sana kemari, mencari sedikit madu terakhir untuk memuaskan laparnya. Ketika itu, di sebuah kolam teratai yang penuh dengan teratai menyala, dan dengan sangat gembira lebah itu beristirahat pada kaliks sekuntum bunga teratai kecil yang indah, untuk bersenang-senang pada sesuatu yang tidak begitu berharga,madu yang tersembunyi. Lebah itu tidak merusak keindahan teratai, ia hanya menimum sedikit madu. Namun, apa hendak dikata, dengan tenggelamnya matahari, bunga teratai menutupkan mahkotanya yang seperti sutera itu, dan menjerat pengunjungnya yang kelaparan. Lebah kecil itu bukan tanpa harapan. Di dalam benaknya terlintas pikiran kecil yang telah biasa terperangkap di dalam penjara teratai yang cantik

“Malam akan berlalu, menyerah pada terangnya pagi; matahari akan terbit, dan teratai ini akan mengembang kembali, dan segera saya dapat keluar dari rumah penjara untuk bergabung dengan kelompok saya”

Namun, sesuatu yang tak diharapkan telah terjadi.Seekor gajah yang besar,raja hutan itu, datang sesuai jalur jalannya menuju kolam tersebut. Ia minum sampai puas dan memercikan air yang sejuk tersebut ke atas panggulnya yang padat.Belalainya yang sensitif mencari wewangian teratai yang enak, teratai yang sama dengan tempat lebah yang keliru itu terperangkap!

Dengan segera binatang buas yang besar itu merobek tanaman teratai dan berjalan berderak-derak. Daun,bunga dan lebah itu hilang ke dalam air yang penuh lumpur!Dan, lebah kecil itu,cukup bertentangan dengan khayalannya yang optimis, telah menemui ajalnya.

Demikianlah kehidupan!Satu saat di sini, kemudian hilang selamanya.Siapa yang dapat mengatakan kepastian bahwa seseorang akan hidup untuk melihat hari esok? Semua berlalu dengan cepat;keindahan bunga dan suara burung dan dengungan lebah itu.

Semua pertemuan berakhir dalam perpisahan,sementara semua kehidupan berakhir dalam kematian. Dan kita, di dalam semesta yang misterius ini,hidup,cinta dan tertawa, karena”cukup mudah untuk bergembira ketika kehidupan ini mengalir terus seperti sebuah lagu”. “Namun” ketika kesedihan datang, mereka tidak datang sendiri, namun dalam jumlah besar seperti batalion dan kemudan dunia secara keseluruhan, tampak seperti sebuah gambaran penderitaan.

Tapi, seseorang yang memandang kehidupan ini dengan satu pandangan yang objektif, akan melihat segala sesuatu dalam perspektif yang sesungguhnya. Ia yang budaya latihannya menganjurkan untuk tenang dan tidak gentar di bawah semua perubahan dari kehidupan, akan dapat tersenyum ketika segala sesuatu sama sekali berjalan ‘salah’/tidak sesuai harapannya. Orang ini tentu adalah seorang yang patut di hargai

Mengendalikan diri dari meminum minuman memabukkan dan penuh kewaspadaan, memantapkan dirinya di dalam kesabaran dan kesucian, orang bijaksana itu melatih batinnya. Dan hanya melalui latihan, batin yang tenang akan direalisasi.

Satu pengertian tertentu mengenai bekerjanya kamma (perbuatan) dan bagaimana kamma mendatangkan buah (vipaka kamma) sangat diperlukan oleh seseorang yang secara mati-matian berusaha mengembangkan keseimbangan batin. Dari sudut pandang kamma, seseorang akan dapat memiliki kecenderungan objektif terhadap semua mahluk, bahkan juga terhadap benda-benda mati.Sebab terdekat dari keseimbangan batin adalah pengertian bahwa semua mahluk merupakan hasil dari perbuatannya, kamma. Dunia ini yang di dalamnya kita pakai sebagai tempat tinggal sementara, mirip dengan sebuah teratai besar di mana kita semua, lelaki maupun wanita, mengumpulkan madu dengan perjuangan yang berat. Kita membangun harapan-harapan khayal, dan kita merencanakannya untuk hari esok. Namun satu hari, mungkin secara tiba-tiba, dan tidak terharapkan, datanglah jam-jam tak terelakan ketika kematian,gajah, Maccu Mara,merobek kehidupan kita dan membuah harapan-harapan kita sia-sia.

‘Wajah kehidupan ini hanya sebuah topeng/kedok yang menyembunyikan kematian semata. Dengarkanlah puisi ini:

“Pelajarilah ini,pelajarilah dengan baik, dunia ini adalah sebuah mimpi dan bentuk-bentuknya yang mengambang adalah debu impian-impian semata;

Tubuh ini yang kita beri makan dengan wewangian bersifat lebih sementara jika dibandingkan dengan berakhirnya warna sebuah bunga;

Semua milik kita merupakan belenggu yang mengikat kita lebih kuat/hebat dibandingkan kemiskian;uang,keberuntungan, usia muda dan kekuatan menarik bagi kita; kita mirip kafilah yang tertarik akan gurun yang mematikannya”

Sejarah telah lagi-lagi membuktikan, dan akan terus membuktikan bahwa tidak satupun di dunia inii  yang kekal. Bangsa-bangsa dan peradaban muncul, tumbuh dan lenyap bagaikan ombak di lautan yang menyerah pada ombak lainnya yang baru, pandangan tak berdasar dan arus yang pudar dari sejarah kemanusiaan.

Oleh karena itu para bijaksana jaman dulu kala menyatakan;
“Delapan pegunungan besar dan tujuh samudera; matahari, dewa dewa yang duduk dan seolah menguasai semuanya ini,

Kamu, saya, semesta,pasti akan berlalu/padam.Waktu, menaklukan segalanya. Mengapa kita begitu gemar akan permain semu (Maya)?’


Perumpamaan Ular Berbisa

Dikisahkan ada seorang yang sering melakukan kejahatan, tetapi ia takut akan kematian, kesukaran atau ketidaksenangan. Ketika itu raja mengetahui status orang itu sebagai penjahat, namun belum dapat membuktikan kesalahan penjahat itu. Akhirnya raja itu memutuskan untuk mengkondisikan kehancuran penjahat itu secara tak langsung dengan menyuruhnya memelihara empat ekor ular yang sangat berbisa dan berbahaya, yang gigitannya dapat mengakibatkan penderitaan hebat, bahkan dapat menyebabkan kematian.

Ular itu harus diperlakukan dengan baik; pada waktu yang tepat harus dibangunkan, diberi makan, dimandikan, ditidurkan dan dipenuhi semua kebutuhannya. Namun dengan berpikir bahwa memelihara empat ular berbisa ini merupakan kehormatan yang dilimpahkan oleh raja kepadanya, penjahat itu sangat bangga dan memperlakukan keempat ular berbisa itu. Tanpa menyadari resiko dan bahaya yang siap menerpanya, penjahat itu sangat bangga dan memperlakukan keempat ular berbisa tadi sebagai perhiasan dan dipamerkannya berkeliling kota. Ular pertama dibiarkan merayap melalui kaki kirinya dan berdiam di bahu sebelah kiri; ular kedua merayap melalui kaki kirinya dan berdiam di bahu sebelah kiri; ular kedua merayap melalui kaki kanan dan berdiam di bahu kanan; ular ketiga merayap melalui sisi depan badannya dan berdiam di dada; ular keempat merayap melalui sisi belakangnya dan berdiam di atas kepala.

Satu hari ia bertemu dengan sahabat baiknya yang mengingatkannya: “ Bila tiap ular memiliki kebutuhan yang berbeda pada saat yang bersamaan dan kamu tidak mampu memuaskannya, maka kamu akan menghadapi penderitaan, bahkan kematian. Sesungguhnya, ular tersebut merupakan kondiri yang akan menghancurkanmu. Kamu harus membebaskan diri ketika ular itu sedang tidur”

Penjahat itu mengikuti nasehat sahabatnya dan pergi dari ular-ular itu. Menyadari bahwa orang ini melarikan diri, raja teringat bahwa penjahat mempunyai lima orang musuh; dan ia merencanakan memberi hadiah bagi siapa pun yang berhasil menangkap penjahat itu. Tentu saja, lima orang tadi datang terlebih dulu kepada raja dan bersedia menangkap walaupun tanpa hadiah.

Ketika penjahat itu sedang berlari, kembali sahabat baiknya mengingatkannya, bahwa ia tidak hanya dikejar oleh ular-ular berbisa, tetapi juga oleh lima orang musuhnya. Oleh karena itu ia harus secepat mungkin membebaskan diri.

Ketika raja menyadari bahwa penjahat ini tak dapat ditemukan, beliau mendekati seseorang yang diduga sebagai teman dekat penjahat itu dan diminta untuk berpura-pura sebagai sahabat baiknya untuk memengaruhi penjahat tersebut agar kembali.

Sekali lagi sahabat baiknya datang mengingatkannya perihal sahabat palsu di atas; bahwa ia harus waspada dan tidak tertipu oleh sahabat palsu itu, tetapi dianjurkan agar tetap pergi membebaskan diri. Akhirnya sampailah penjahat itu pada sebuah desa kosong dengan enam rumah yang kosong pula. Di sini karena lapar dan haus, ia berkeliling mencari makanan dan air, mulai dari rumah pertama sampai rumah keenam, tetapi ia tidak menemukan apa-apa, hanya ditemukan mengkuk, piring, tempat air yang kosong. Karena lelahnya, ia pergi ke sebuah pohon dengan maksud untuk tidur dengan enak. Saat itu, kembali sahabat baiknya mengingatkan bahwa keenma rumah kosong tersebut selalu disatroni/dikunjungi oleh enam perampok/bandit yang akan segera datang dan bila ia bertemu dengan bandit-bandit itu maka kemungkinan besar ia akan terjerat dan menghadapi bahaya.

Oleh karena itu, penjahat tadi pergi lagi pergi lagi membebaskan diri, sampai akhirnya tiba di tepi sebuah sungai yang lebar dengan arus yang sangat deras. Ia menyadari bahwa bila ia tidak mencapai sisi seberang sungai itu, maka ia tidak akan selamat dari kejaran musuh-musuhnya. Tetapi di sisi sungai sebelah sini, ia mencari dan tidak menemukan perahu ataupun jembatan. Namun dengan segera ia mencoba memulai mengumpulkan semua batang pohon, ranting, dedauan dan mengikatnya  menjadi satu seperti sebuah rakit. Dengan rakit yang dibuatnya itu, ia mengayuh sekuat tenaga dengan kedua tangan dan kakinya, dengan kestabilan dan keseimbangan. Dengan usaha dan tekad yang kuat, akhirnya ia dapat menyeberangi arus yang deras dan mencapai sisi seberang sungai; sehingga ia selamat dan terbebas dari musuh-musuhnya.

Arti dari perumpamaan di atas :
  1. Empat ular berbisa dan berbahaya merupakan ibarat dari empat unsur pokok jasmani (Maha bhuta).
  2. Lima orang musuh merupakan ibarat dari lima kelompok perpanduan (Pancakkhandha)
  3. Sahabat baik merupakan ibarat dari Sang Buddha
  4. Sahabat palsu yang berpura-pura sebagai sahabat baik merupakan ibarat kesenangan dan kemelekatan (nandiraga)
  5. Desa dengan  enam rumah kosong merupakan ibarat dari enam landasan indera ( 6 ayanana dalam )
  6. Enam perampok / bandit yang sering menyatroni / mengunjungi desa dengan keenam rumah kosongnya merupakan ibarat enam macam objek indera (6 ayatana luar )
  7. Sisi sungai sebelah sini merupakan ibarat pandangan salah tentang diri (sakkaya ditthi)
  8. Sisi sungai sebelah seberang merupakan ibarat Nibbana.
  9. Sungai dengan arus yang deras merupakan ibarat banjir ( Ogha ), yaitu banjir nafsu indera, banjir kemelekatan pandangan untuk menjadi, banjir pandangan salah dan banjir kegelapan batin.
  10. Rakit merupakan ibarat jalan mulia berunsur delapan ( Ariya Atthangika Magga ).
  11. Penjahat yang membuat rakit dan harus mengayuh sendiri dengan kedua kaki dan tangannya sekuat tenaga dengan penuh tekad merupakan ibarat kita semua sebagai mahluk hidup berjuang dengan penuh semangat dan tekad dan tidak bergantung kepada orang / mahluk / kekuasaan lain di luar diri kita.
  12. Mengayuh dengan kestabilan dan keseimbangan disertai usaha dan tekad kuat merupakan ibarat melatih dengan kestabilan dan keseimbangan dalam keyakinan (saddha), semangat (viriya), perhatian (sati), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan (panna)

Perumpamaan yang tertulis di dalam Asivisopama Sutta ini sangat bermanfaat bagi mereka yang sedang berlatih mengarungi samudra kehidupan ini dalam menggapai kebahagiaan sejati. Perumpamaan ini baik sekali untuk meningkatkan pengertian mereka yang sedang berlatih vipassana.

Semoga tulisan ini menjadi kondisi inspirasi meningkatnya pengertian akan hakekat segala sesuatu. Marilah kita berjuang dengan kesungguhan dan perhatian murni... Semoga semua mahluk berbahagia.


Apakah Kamma dan Anatta Kontradiksi ?

Pertanyaan di atas seringkali muncul pada pendatang baru yang mulai belajar Buddha Dhamma. Mereka berpikir:”Apabila tidak ada aku/diri (anatta), termasuk jasmani dan batin, bagaimana mungkin terdapat perbuatan (kamma)? Siapa yang melakukan perbuatan (kamma)? Siaya yang menerima hasil (vipaka)perbuatan? Keraguan di atas ternyata tidak hanya dijumpai saat ini tetapi juga pada jaman Sang Buddha

Marilah kita mengamati ceritera berikut :
Misalkan para pembaca dan penulis berdiri bersama di tepi sebuah sungai, mengamati airnya yang sedang mengalir. Air mengalir pada area yang hampir datar, sehingga alirannya itu sangat lambat. Tanah pada area tersebut berwarna merah, menyebabkan air itu kemerahan. Sungai itu mengalir melalui banyak area yang populasinya padat di mana orang-orang telah lama membuang sesuatu yang tidak bermanfaat ke dalamnya, di tambah kotoran industri yang terlimpah ke dalam aliran air itu oleh sejumlah besar pabrik-pabrik yang di bangun. Oleh karena itu, air tersebut hampir tidak dihuni oleh sebagian besar binatang. Di dalamnya tidak banyak ikan,udang dan sebagainya. Dalam satu kata, air yang kita perhatikan itu kemerahan,kotor,terpolusi,jarang penghuninya.Semua ciri-ciri itu secara bersamaan merupakan ciri-ciri khusus air itu.Beberapa ciri ini mungkin mirip dengan sungai lain,namun sejumlah total ciri-ciri ini unik bagi aliran air tersebut.

Sekarang kita diinformasikan bahwa aliran air ini dinamakan sungai Berantas.Orang yang berbeda menggambarkannya dengan cara yang berbeda pula. Beberapa orang mengatakan bahwa sungai Berantas kotor dan tidak memiliki banyak ikan. Beberapa lainnya mengatakan bahwa sungai Berantas mengalir sangat lambat. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa sungai Berantas berwarna kemerahan.

Berdiri di tepi sungai, tampak pada kita bahwa air yang kita amati itu sesungguhnya lengkap dengan sendirinya. Atribut-atribut bagi sungai itu, seperti berwarna kemerahan, kotor dan sebagainya, semuanya disebabkan oleh berbagai faktor yang mengkondisikan, seperti : aliran air kontak dengan tanah merah. Ditambah, air yang kita amati itu secara konstan mengalir. Air yang kita lihat pertama tidak lagi disini, dan air yang kita amati saat ini akan berlalu dnegan cepat. Demikian pula, sungai itu memiliki sifat unik (khas), yang tidak tampak berubah selama faktor-faktor yang mengkondisikannya belum tampak berubah (padahal berubah setiap saat secara kontinyu)

Namun kita diberitahukan bahwa itu adalah sungai Berantas, mereka mengatakan bahwa sungai Berantas kotor, dan sedikit ikannya. Secara sepintas, kita tidak dapat melihat “sungai Berantas” selain dari air yang mengalir itu. Ditambah lagi, mereka menceritakan kepada kita bahwa sungai Berantas memotong tanah merah yang dilaluinya, yang menyebabkan airnya berwarna merah. Hampir seolah-olah sungai Berantas ini melalukan sesuatu terhadap tanah merah itu, dan menyebabkan tanah merah itu “menghukum” sungai itu sehingga airnya menjadi merah.

Kita dapat dengan jelas melihat, bahwa air itu merupakan subyek dari proses sebab dan akitbat yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mengkondisikan; air mencebur ke tanah merah dan tanah merah itu larut ke dalam air merupakn salah satu kondisi sebab, akibatnya air itu berwarna merah. Kita tidak dapat menemukan “tubuh” yang melakukan sesuatu atau menerima akibatnya. Kita sesungguhnya tidak dapat melihat sungai Berantas di manapun. Air yang mengalir di depan kita segera mengalir pergi, air yang lebih dulu terlihat tidak lagi di sini. Air yang baru secara konstan segera menggantikan kedudukan air yang telah mengalir. Kita dapat mendefiniskan air itu hanya dengan menggambarkan faktor-faktor yang mengkondisikannya dan kejadian-kejadian yang muncul sebagai akibat faktor kondisi tersebut, yang menyebabkan ciri-ciri seperti yang kita amati. Apabila terdapat sungai Berantas yang nyata dan tidak berubah, tidaklah mungkin bagi aliran air itu untuk berjalan menurut berbagai faktor penentunya. Akhirnya kita melihat bahwa sungai Berantas ini berlebihan dan tak berguna. Kita dapat berbicara tentang air itu tanpa direpotkan dengan”sungai Berantas” ini. Dalam hakekat yang sesungguhnya tidak ada sungai Berantas lagi.

Seraya waktu berlalu, kita mengadakan perjalanan ke sebuah kota baru. Dengan berkehendak menceriterakan air yang kita telah lihat pada waktu yang lewat kepada orang-orang di kota ini, kita menemukan kesulitan. Kemudian kita memanggil seseorang yang menceritakan kepada kita bahwa air itu dikenal sebagai sungai Berantas. Mengetahui hal ini, kita dapat menghubungkan pengalaman kita dengan lancar, dan orang-orang dapat mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketertarikan. Kita memberitahukannya bahwa sungai Berantas memiliki air yang kotor, tidak banyak ikan, terpolusi dan berwarna merah.

Pada saat itu kita menyadari dengan jelas bahwa’sungai Berantas’ ini dan hal-hal yang terjadi yang kita gambarkan itu, hanyalah sebuah konvensi bahasa yang digunakan bagi kemudahan dalam berkomunikasi.Apakah konvensi sungai Berantas ada ataupun tidak, dan apakah kita menggunakannya ataupun tidak, tidaklah menentukan aktivitas aliran air itu. Aliran air itu berlangsung sebagai proses reaksi keterkaitan sebab akibat. Kita dapat membedakan dengan jelas antara konvensi dan kondisi sesungguhnya. Sekarang kita dapat mengerti dan menggunakan konvensi pembicaraan dengan mudah.Segala sesuatu yang secara konvensi kita ketahui sebagai orang, yang kita beri nama, dan merupakan aliran kejadian yang berkesinabungan dan terkait, tersusun dari faktor-faktor penentu yang tak terhingga yang terkait, seperti sungai itu. Mereka adalah subyek kejadian yang tidak terhingga, diarahkan oleh penentu-penentu yang berhubungan, baik dari aliran kejadian di dalam maupun di luar. Ketika suatu reaksi tertentu terjadi dalam suatu sebab, maka akibat dari reakti itu muncul, menyebabkan perubahan-perubahan dari aliran kejadian-kejadian. Kondisi-kondisi yang kita hubungkan itu adalah kamma (perbuatan) dan vipaka (hasil), hanya merupakan permainan sebab akibat di dalam suatu aliran kejadian tertentu. Mereka secara sempurna dapat berfungsi di dalam aliran itu tanpa perlu nama atau konvensi, atau kata’aku’ dan’kamu’, apakah sebagai pemilik atau pelaku dari perbuatan, ataukah sebagai penerima hasil perbuatan itu. Namun untuk kemudahan berkomunikasi di dalam dunia sosial, kita menggunakan konvensi nama bagi aliran kejadian tertentu, seperti Tuan Selamat dan sebagainya. Setelah menerima konvensi itu, kita menerima tanggung jawab bagi aliran kejadian, menjadi pemilik, pelaku aktif dan pasif dan menerima hasil atau akibatnya. Akan tetapi apakah kita menggunakan konvensi atau tidak, apakah kita menerima label atau tidak, aliran kejadian itu sendiri tetap berfungsi dan berlangsung, dikendalikan oleh sebab dan akibat. Oleh karena itu, hal yang penting, kita harus memahami perbedaan antara konvensi dan kondisi yang sesungguhnya, di mana keduanya harus dipergunakan secara terpisah sesuai konteks pembicaraannya sehingga kita tidak dibingungkan oleh kedua hal itu.

Konvensi merupakan penemuan manusia yang berguna dan praktikal. Problema akan muncul ketika manusia bingung akan konvensi dan hakekat sesungguhnya.

Hakekat sesungguhnya tidak membingungkan, karena berfungsi terpisah dari keinginan manusia; jadi segala problema sepenuhnya merupakan kesalahan manusia.

Kalau seseorang bertanya:”Apabila ‘bukan aku’ yang melakukan kamma, maka ‘aku’ yang mana (siapa) yang menerima hasil kamma?” Bagian pertama dari kalimat di atas di bicarakan menurut pengetahuan akan kenyataan, tetapi bagian kedua dari kalimat di atas dibicarakan menurut persepsi kebiasaan orang itu (konvensi). Secara alamiah keduanya tidak akan cocok.

Dengan demikian jelas bagi kita, dalam hakekat yang sesungguhnya, kamma dan Anatta tidak kontradiksi dan tak dapat dipisahkan. Kamma berperan karena tidak ada Atta (aku/diri)