Pannakatha

Seperti apakah konsep anicca dukkha anatta dalam penerapan kehidupan keseharian, mari kita simak kumpulan artikel artikel Pannakatha yang merupakan karya terjemahan bercampur dengan kompilasi dari berbagai buku yang dilakukan oleh penyusun dan diterbitkan dalam bentuk leaflet sejak tahun 1990-an dalam rangka memenuhi kebutuhan permenungan pokok-pokok penting hakikat kehidupan, dan atas praktik Buddha dhamma di dalam kehidupan sehari-hari dari beberapa pendukung yang menyebarkannya di berbagai kota di Nusantara. Atas berbagai masukan, maka leaflet tersebut di kumpulkan dan di rangkai kembali menjadi satu didalam buku kecil dan sekarang di tuangkan dalam bentuk website ini. Semoga dapat memberikan sumbangsih memperkaya referensi dan bahan renungan Buddha Dhamma dalam praktik keseharian dengan berbagai perumpamaan yang tersebar didalam Tipitaka

Dhamma menjadi berkah mulia bagi kita

Selamat Rodjali Webblog : http://tilakkhana-tigacorakkehidupan.blogspot.com

Creator:Mirawati Mulyadi

Sunday 27 July 2014

Bhikkhu-Deva

Satu hari, ketika Sang Buddha tinggal di hutan Jeta, di dekat kota tua Savathi di India, Beliau dikunjungi mahluk dewa yang datang dari alam surga disertai sejumlah ribuan dewa.

Dewa tersebut memberikan hormatnya kepada Buddha dan kemudian mengemukakan keluhan demikian:

“O, Yang mulia Buddha,” ia meratap,”Tanah dewata begitu berisik! Dipenuhi oleh suara-suara para dewa ini. Mereka mirip setan (peta) bagi saya, meraung-raung di tanahnya. Sungguh membingungkan berada di tempat seperti ini. Tunjukkanlah kepada saya, bagaimana cara mengatasinya!’

Ini merupakan kata-kata penting bagi seorang dewa. Alam dewa dikenal dengan ciri khasnya, yaitu kesenangan. Penduduknya, berseni dan cenderung senang musik, hampir mirip ‘peta’ yang hidup sangat menderita dan menyedihkan. Beberapa ‘peta’  memiliki lambung yang besar dengan mulut sekecil lubang jarum sehingga mereka secara konstan merasakan kelaparan yang mengerikan dan mereka tak pernah terpuaskan.

Dengan memanfaatkan kekuatan batinnya, Buddha menyelidiki masa lalu dewa tersebut. Beliau mengetahui bahwa sebelum kehidupan ini, dewa tersebut adalah seorang manusia, seorang yang tekun mempraktikkan Dhamma. Sebagai seorang muda, ia telah memiliki keyakinan yang kuat terhadap ajaran Buddha sehingga ia meninggalkan kehidupan berumah tangga menjadi seorang bhikkhu. Setelah mengikuti gurunya selama lima tahun, ia telah terlatih baik di dalam peraturan moral dan vinaya ke-bhikkhu-an serta memiliki kemampuan bermeditasi secara mandiri. Kemudian ia tinggal sendiri di sebuah hutan.

Karena tekadnya yang kuat untuk merealisasi tingkat kesucian Arahat, latihan bhikkhu tersebut sangat gigih dan ekstrim. Demikian tinggi keyakinannya sehingga sebanyak mungkin waktu dihabiskan untuk bermeditasi, hampir tidak tidur dan tidak makan. Apa hendak dikata,  ia menghancurkan kesehatannya. Gas berakumulasi di dalam lambungnya, menyebabkan ia kembung dan nyeri seperti disayat pisau. Namun demikian bhikkhu tersebut tekadnya telah bulat dan tidak mengubah kebiasaannya. Nyerinya makin memburuk, dan memburuk, sampai satu hari, di pertengahan meditasi berjalan, nyeri tersebut memotong kehidupannya.

Secara instan, bhikkhu tersebut tumimbal lahir di alam dewa Tavatimsa. Tiba-tiba, seperti terjaga dari mimpi, ia tersadar berpakaian dengan cahaya keemasan dan berdiri di gerbang kerajaan dewa yang menakjubkan. Di dalam istana dewa itu terdapat seribu dewa, dengan pakaian lengkap dan sedang menunggu kedatangannya. Ia akan menjadi pemimpin para dewa itu. Mereka gembira melihat kehadirannya di pintu gerbang! Dengan berteriak, mereka membawakan instrumentalia / musik guna membuatnya gembira.

Sejauh ini, mahluk yang malang ini belum mengetahui bahwa ia baru saja meninggal di bumi dan sekarang telah tumimbal lahir di alam dewa. Dengan berpikiran bahwa para dewa tersebut tidak lain daripada para pengikut / umat yang sedang memberikan penghormatan kepadanya, dewa baru tersebut merendahkan pandangannya melihat tanah, dan menyibakkan satu ujung dari pakaian keemasannya ke bahunya. Dari tingkah laku jasmani ini, para dewa telah menduga situasinya dan berteriak,” Kamu sekarang berada di alam dewa. Bukanlah waktunya untuk bermeditasi. Ini adalah waktu bergembira dan santai. Kemarilah, mari kita berdansa!”

“Pendekar kita” ini terkejut mendengar mereka, karena ia sedang melatih pengendalian indera. Akhirnya beberapa dewa pergi ke peraduan dan membawakan sebuah cermin yang panjang. Astaga, dewa baru ini terkejut bahwa ia bukan lagi seorang bhikkhu. Tidak terdapat tempat di seluruh alam dewa itu yang cukup sepi untuk berlatih.  Ia merasa terjebak. Dengan kesal, ia berpikir,”Ketika saya meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memakai jubah, saya hanya bercita-cita untuk meraih kebahagiaan tertinggi, merealisasi tingkat kesucian Arahat. Saya mirip seorang petinju yang memasuki satu kompetisi mengharapkan sebuah medali emas dan sebagai gantinya diberikann sebongkah kubis (sejenis sayuran).

Eks-bhikkhu ini sangat takut sekalipun hanya untuk menginjakkan kakinya di gerbang istananya. Ia mengetahui bahwa kekuatan batinnya tidak akan kuat melawan kesenangan-kesenangan itu, yang jauh lebih memikat dibandingkan kesenangan di alam manusia. Tiba-tiba ia menyadari bahwa sebagai dewa ia memiliki kemampuan untuk mengunjungi alam manusia di mana Sang Buddha mengajarkan Dhamma. Realisasi ini membuatnya gembira.

“Saya dapat meraih kekayaan surgawi kapan saja,” pikirnya.” Namun kesempatan untuk bertemu seorang Buddha jelas sangat langka.” Tanpa berpikir kedua kali, ia pergi diikuti oleh ribuan pengikutnya.

Menemukan Buddha di hutan Jeta, dewa itu menghampiri dan memohon pertolongan. Buddha, terkesan oleh kegigihannya dalam berlatih, dan memberikan petunjuk demikian :

“O, dewa, telah lurus jalan yang telah kamu lalui. Hal itu akan membawamu kepada’keselamatan’, jauh dari ketakutan, yaitu meraih cita-cita luhurmu. Kamu seyogyanya naik di dalam sebuah kendaraan yang sunyi sempurna. Kedua roda keretamu adalah semangat batin dan fisik. Kesungguhan adalah sandaran punggung kereta tersebut. Perhatian murni adalah tentara yang mengelilingi kereta ini, dan pandangan benar adalah pengemudi keretanya. Seseorang, baik pria maupun perempuan, yang memiliki kendaraaan seperti itu dan mengendarainya dengan baik, tak diragukan lagi akan merealisasi Nibbana.”


Cerita tentang bhikkhu-dewa ini disarikan dari kumpulan naskah pali, yaitu Samyutta Nikaya (bagian Sutta Pitaka, Tipitaka). Cerita ini mengilustrasikan banyak hal tentang latihan meditasi, yaitu semangat, pandangan benar, pengendalian indera, tingkah laku moral, kesungguhan hati, kebenaran metode latihan dan sebagainya.