Pannakatha

Seperti apakah konsep anicca dukkha anatta dalam penerapan kehidupan keseharian, mari kita simak kumpulan artikel artikel Pannakatha yang merupakan karya terjemahan bercampur dengan kompilasi dari berbagai buku yang dilakukan oleh penyusun dan diterbitkan dalam bentuk leaflet sejak tahun 1990-an dalam rangka memenuhi kebutuhan permenungan pokok-pokok penting hakikat kehidupan, dan atas praktik Buddha dhamma di dalam kehidupan sehari-hari dari beberapa pendukung yang menyebarkannya di berbagai kota di Nusantara. Atas berbagai masukan, maka leaflet tersebut di kumpulkan dan di rangkai kembali menjadi satu didalam buku kecil dan sekarang di tuangkan dalam bentuk website ini. Semoga dapat memberikan sumbangsih memperkaya referensi dan bahan renungan Buddha Dhamma dalam praktik keseharian dengan berbagai perumpamaan yang tersebar didalam Tipitaka

Dhamma menjadi berkah mulia bagi kita

Selamat Rodjali Webblog : http://tilakkhana-tigacorakkehidupan.blogspot.com

Creator:Mirawati Mulyadi

Thursday 31 July 2014

Kebutuhan Primer

Sebagai pengantar, marilah para pembaca menyimak sebuah kisah nyata yang tertulis di dalam kitab suci Tipitaka.  Cerita tersebut terjadi pada jaman kehidupan Buddha Gotama. Cerita ini mengindikasikan banyak hal tentang prasyarat di dalam menghayati Buddha Dhamma, yang memungkinkan pembaca dapat memecahkannya sendiri. Demikian cerita tersebut :

Satu pagi ketika Buddha Gotama berdiam di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, Beliau dapat mengetahui melalui kekuatan batinnya bahwa indera spiritual seorang petani miskin tertentu yang hidup di dekat kota Alavi telah cukup masak untuk mengerti ajaranNya, dan ia telah masak untuk merealisasi kesunyataan. Kesempatan tersebut merupakan satu hal yang tepat untuk memberikan ajaran kepadanya. Oleh karena itu, kemudian, pagi hari itu Sang Buddha pergi berjalan kaki ke Alavi, sejauh kurang lebih 30 Yojana (lebih kurang 48 km). Penduduk Alavi memperlakukan Buddha dengan penuh hormat dan menyambut kedatangan Beliau dengan hangat. Serta merta sebuah tempat disediakan bagi siapa saja yang akan berkumpul bersama dan mendengarkan khotbah. Namun demikian, karena tujuan Buddha mengunjungi Alavi adalah untuk mengkondisikan seorang petani miskin tersebut, sebelum mulai berkhotbah, Beliau menunggu kedatangan petani tersebut.

Petani miskin tersebut mendengar berita baru tentang kedatangan Buddha, dan karena ia telah tertarik akan ajaran Buddha, untuk beberapa saat ia ingin pergi dan mendengarkan khotbah tersebut. Namun apa yang terjadi bahwa sapi-sapinya telah ‘ lenyap’. Ia bertanya-tanya (dalam hati) apakah pertama-tama ia harus pergi dan mendengarkan khotbah Buddha dan mencari sapinya kemudian, ataukah pertama-tama mencari sapinya, kemudian pergi mengunjungi dan mendengarkan khotbah Buddha. Ia akhirnya merencanakan untuk pertama-tama mencari sapinya dan dengan segera berangkat ke dalam hutan untuk mencari sapinya itu. Kemudian petani miskin itu menemukan sapinya dan membawanya pulang ke tempat ternaknya, namun dengan berjalannya waktu tersebut apa hendak dikata, ia sangat lelah. Petani itu berpikir, “ waktu berlangsung terus, apabila saya pertama-tama pulang ke rumah tentu akan menyita banyak waktu. Saya harus pergi langsung ke kota untuk mendengarkan khotbah Buddha.” Setelah menetapkan pikirannya, petani miskin itu mulai berjalan menuju Alavi. Sewaktu ia tiba di tempat yang disediakan untuk khotbah itu, ia kehabisan tenaga dan sangat lapar.

Ketika Buddha melihat kondisi petani tersebut, Beliau meminta para tetua kota itu untuk menyediakan makanan kepada lelaki miskin itu. Ketika petani tersebut telah makan dengan cukup kenyang dan segar kembali, Buddha mulai mengajar dan ketika mendengarkan khotbah, petani itu merealisasi tingkat kesucian pertama ‘yang memasuki arus’ (Sotapanna). Buddha telah memenuhi maksudnya dalam mengadakan perjalanan ke Alavi.

Setelah khotbah selesai Buddha mengucapkan selamat jalan kepada orang-orang Alavi dan pergi kembali ke Vihara Jetavana.

Selama dalam perjalanan kembali, para bhikkhu yang menyertai Buddha mulai berdiskusi dengan kritis tentang kejadian hari itu. “ Apakah semua itu ? Pada hari ini Sang Bhagava tidak seperti biasanya. Saya heran mengapa sebelum memberikan khotbah, Beliau meminta mereka untuk menyediakan makanan kepada petani seperti itu.” Buddha, mengetahui subjek diskusi para bhikkhu itu memutar badan ke arah mereka lalu memulai untuk memberitahukan alasannya, dan pada satu titik di dalam penjelasam tersebut Buddha menyatakan,” pada saat orang-orang diliputi dan di dalam kesakitan fisik yang membuatnya menderita, mereka tidak dapat mengerti Dhamma.” Kemudian Buddha menyatakan bahwa kelaparan adalah penderitaan yang paling menyakitkan dari semua bentuk kesakitan, dan merupakan fenomena berkondisi yang melengkapi dasar penderitaan kemelekatan yang mendasar. Hanya ketika seseorang mengerti kebenaran ini ia akan merealisai kebahagiaan sejati,  Nibbana.

Semua titik penting dari kondisi pemahaman Buddha Dhamma nampak dalam cerita ini, Seseorang harus memiliki simpanan jasa kebajikan untuk bertemu dengan seorang guru dan mendengarkan Dhamma yang bermanfaat. Namun di kala tepat untuk berbuah, diperlukan kondisi khusus yang patut kita renungkan, yaitu pemenuhan kebutuhan primer yang mengkondisikan ketenangan batin. Sungguh kecil peluang berkonsentrasi untuk mendengarkan Dhamma hingga mengerti apalagi merealisasi Nibbana apabila orang tersebut sedang diliputi kegelisahan batin (dalam contoh ini: karena sapinya sebagai sumber penghidupan lenyap). Demikian pula, seseorang yang sedang diliputi kelaparan dan kondisi tubuh yang sangat lelah, dibutuhkan upaya yang sangat berat dan sungguh sulitu untuk berkonsentrasi apalagi memahami sepenuhnya Buddha Dhamma. Sang Buddha telah sepenuhnya menyadari hal ini. Walaupun petani dalam cerita tadi memiliki potensi untuk mencapai kesucian karena pemupukan kamma-nya, namun kekuatan tersebut juga harus dikondisikan oleh faktor lain yang sedang dihadapinya saat itu serta upaya dan pengarahan diri yang benar.

Pernahkan terpikirkan oleh kita semua, sampai seberapa jauh’tah’ kita telah menyediakan kondisi pemenuhan kebutuhan primer kepada diri kita sendiri, atau kepada mereka yang kita harapkan menjadi umat Buddha yang baik, kepada mereka yang berhasrat mendengarkan Dhamma, kepada mereka yang sedang berpraktik Dhamma dengan baik dan tekun. Bahkan, terhadap para bhikkhupun, saat ini, cukup banyak umat Buddha yang tanpa sadar telah menyediakan kondisi yang kurang tepat untuk pengembangan batin mereka dengan menjerumuskan para bhikkhu ke dalam kancah acara yang padat dan melelahkan, dan lupa akan disiplin makan seperti yang digariskan di dalam vinaya.
Untuk kebahagiaan bersama, bila umat Buddha semua secara bersama-sama menghayati berbagai kondisi bagi suksesnya pemahaman dan perealisasian Buddha Dhamma, tentu perealisasian kebahagiaan sejati bukanlah utopia.


Semoga tulisan singkat di atas dapat menjadi inspirasi positif bagi para pembaca. Semoga berbahagia.

Doa dan Upacara Pemujaan

            Satu hari, ketika Sang Buddha berdialog dengan perumah tangga terkemuka bernama Anathapindika, beliau membuat komentar berikut ini terhadap penggunaan doa-doa :
            “ O perumah tangga, terdapat lima hal yang diinginkan, menyenangkan dan disetujui yang jarang di dunia ini. Apakah kelima hal tersebut ? Mereka adalah umur panjang, kecantikan (ketampanan), kegembiraan, nama baik (kemasyuran) dan (tumimbal lahir) di alam surga. Namun, o perumah tangga, di antara kelima hal ini, saya tidak mengajarkan bahwa mereka diperoleh dengan doa (ayacana-hetu) atau bersumpah kaul (patthana-hetu). Apabila seseorang dapat memperoleh kelima hal itu hanya dengan doa atau kaul, siapakah yang tidak akan melakukannya ?
            Bagi siswa yang mulia, O perumah tangga, yang berharap memiliki umur panjang, tidaklah tepat jika ia harus berdoa bagi umur panjang atau merasa senang melakukan hal itu. Ia seyogyanya lebih baik mengikuti satu jalan kehidupan ( Dana, Sila, Bhavana) yang menunjang panjangnya umur.  Dengan mengikuti jalan tersebut ia akan memperoleh umur panjang baik sebagai mahluk surgawi maupun manusia.
            Bagi siswa yang mulia, O perumah tangga, yang berharap memiliki kecantikan... kegembiraan... kemasyuran... (tumimbal lahir) di alam surga, tidaklah tepat jika ia harus berdoa bagi hal itu atau merasa senang melakukan hal itu. Ia seyogyanya lebih baik mengikuti satu jalan kehidupan ( Dana, Sila, Bhavana) yang menunjang kecantikan...kegembiraan...kemasyuran...(tumimbal lahir) di alam surga. Dengan mengikut jalan tersebut ia akan (tumimbal lahir) di alam surga.”
            (Anguttara Nikaya, Pancaka Nipata no. 43)
            Di antara semua guru pada jamannya, Sang Buddha dikenal sebagai seorang Kamma-vadin, yaitu seorang yang mengajarkan kemanjuran dan pentingnya perbuatan. Di dalam doktrin dan ajarannya, bukan  dengan permohonan terhadap kekuatan yang tak terlihat melalui upacara keagamaan tradisional bahwa seseorang dapat memperoleh manfaat yang diinginkannya; namun mereka harus berpenghidupan benar, baik dari pikiran, perkataan dan aktivitas jasmani. Hal ini merupakan dasar ajaran etika Buddha Dhamma. Dalam dunia modern sekarang, tanpa hal di atas, masyarakat berintelegensia cukup tinggi akan mempertanyakan VALIDITAS tindakan tersebut. Berbagai gejala keraguan dan kemerosotan moral saat ini didasarkan karena kurangnya pengertian akan prinsip sebab akibat moral ini.
            Belenggu ketiga dari sepuluh belenggu yang harus dihancurkan sebelum sotapatti-magga (tingkat pembebasan pertam) dicapai, adalah silabbataparamasa, kepercayaan dan kemelekatan akan ritual yang kosong semata yang membawa ke kesucian. Di jaman kehidupan Sang Buddha, hal ini berarti ritual yang dilakukan sebagian besar orang jaman itu, seperti memuja api yang dianggap suci ( yang disebut sebagai tindakan sia-sia di dalam Dhammapada ), dan sumpah-sumpah dari para pertapa ekstrim yang dilakukan oleh perta telanjang dari aliran Nigantha, dan yang lain yang hidup seperti anjing dan sapi. Silabbataparamasa juga mencakup persembahan dan pengorbanan kepada para dewa; yang jauh lebih lama sebelum kelahiran Buddha, dikenal dalam syair dan doa-doa. Sang Buddha yang juga telah mengenal hal tersebut, telah menemukannya sebagai hal yang sia-sia setelah Beliau merealisasi Pencerahan Agung. Di dalam naskah yang dipetik di atas, Beliau bahkan menolaknya sebagai cara untuk memperoleh manfaat duniawi. Guna mengerti posisi yang diambil oleh Sang Buddha, sangatlah perlu bagi kita untuk meneliti sifat alamiah doa dan pemujaan secara umum.

            Tampaknya, merupakan naluri dasariah di dalam sifat alami manusia untuk berdoa bila di dalam kebutuhan atau stres. Doa adalah sarana yang dipakainya untuk berhubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, baik sebagai pembimbing atau untuk mengintervensi ke dalam situasi yang dia sendiri, secara individu tak dapat memecahkannya. Kekuatan luar yang bonafid yang dia harapkan, mungkin nyata atau mungkin imajinasi, namun apa pun itu, kasus-kasus yang banyak disebarluaskan adalah yang tampaknya menunjukkan bahwa doanya kadang diikuti oleh hasil yang diinginkan.

Perpaduan

            Bila kita menyimak sebuah kendaraan bermotor roda empat, misalkan saja sebuah mobil, yang bergerak dengan lancar, seseorang mungkin beranggapan bahwa bila tidak ada mesin, maka mobil tersebut tidak dapat bergerak, oleh karena itu mesin merupakan sumber proses pergerakan mobil tersebut. Orang lainnya mungkin beranggapan bahwa bila tidak ada bensin maka mobil tersebut tidak akan bergerak, oleh karena itu bensin merupakan sumber proses pergerakan mobil tersebut. Tidak demikian halnya dnegan si Ali. Ia berpikir bahwa mobil dapat bergerak karena adanya kabel dan ‘engkol’ penghubung ke alat-alat gerak mobil itu, dan kabel itulah sumber proses pergerakan. Berbeda dengan si Ani, ban mobil merupakan sumber proses pergerakan tersebut. Sementara itu, si Badu berpendapat bahwa ‘gear’ merupakan sumber proses pergerakan sebuah mobil. Dan seterusnya bagi orang lain, berbeda pula pendapatnya. Para pembaca, yang manakah dari semuanya itu sebagai sumber proses pergerakan sebuah mobil?
            Ada bensin, ada kabel dan engkol penghubung, ada ban,namun tidak ada mesin maka mobil itu tidak dapat bergerak. Ada mesin, ada kabel, ada ban dan ada engkol penghubung, namun bensin tidak ada maka mobil tidak dapat bergerak. Dan seterusnya. Mobil dapat berproses bergerak atas kerjasama mesin, bensin, kabel, ban, engkol sampai hal terkecil seperti baud dan sebagainya. Semua onderdil mobil itu berproses dan berpadu menghasilkan proses lain yaitu proses bergerak. Seseorang tidak mungkin mampu menunjukkan yang mana sesuatu yang pasti sebagai penggerak.
            Manusia dapat berproses, baik berpikir maupun bergerak atau berposisi tubuh, dengan kata lain ‘hidup’. Sementara orang menyatakan bahwa sumber kehidupan seseorang adalah jantung, karena bila jantung tidak bergerak maka proses kehidupan manusia berakhir. Lain lagi dengan pendapat si Tuti, jantung bisa dicangkok, jadi jantung bukan sumber proses kehidupan. Menurutnya, sumber proses kehidupan adalah darah, karena bila seseorang terluka dan darahnya habis, maka terhentilah proses kehidupan orang itu. Apakah benar demikian? Si Umar membantahnya dengan alasan bahwa saat ini sudah ada transfusi darah dan penggantian darah sehingga bagaimana mungkin darah merupakan sumber proses kehidupan. Si Harold lain lagi. Ia seorang sarjana bioteknologi molekul, ia berpendapat bahwa sumber proses kehidupan adalah DNA, karena jantung, darah, otak dan sebagainya mengandung DNA yang unik dan sangat menentukan kehidupan. Dan seterusnya, hingga saat ini para ahli masih belum dapat menentukan dengan pasti di mana sumber proses kehidupan suatu mahluk.
            Bagaimanakah umat Buddha harus menjawab hal di atas ? Di manakah letak sumber kehidupan ?
            Manusia merupakan perpaduan batin dan materi / jasmani. Mereka berproses saling berpengaruh. Proses pergerakan jasmani manusia dikondisikan oleh batin, dan juga oleh materi lainnya. Proses batin manusia juga dapat dikondisikan oleh materi. Batin manusia muncul pada materi yang bersesuaian ( vatthu ), mengalami objek melalui materi yang bersesuaian (dvara). Kondisi materi jasmani yang lemah akan sangat berpengaruh terhadap proses batin yang terjadi. Kondisi proses batin yang terjadi juga sangat berpengaruh terhadap proses materi jasmani.
            Batin dan jasmani / materi tubuh berinteraksi dan berproses sedemikian rupa, dan kita tidak dapat menunjukkan secara tepat di mana letak materi tempat munculnya batin yang tidak langsung berhubungan dengan indera.
  • Di dalam naskah dinyatakan: “ YAM RUPAM NISSAYA MANODHATU, MANOVINNANA DHATU CA, VATTANTI PANCAVOKARE TAM VATTHUTI PAVUCCATI” ( Tergantung pada materi atau sifat itulah unsur batin/ manodhatu dan unsur kesadaran batin / manovinnana dhatu muncul pada mahluk yang memiliki lima kelompok perpanduan / pancavokare-bhava. Dalam hal ini, secara nyata dapat kita baca, bahwa Sang Buddha tidak menunjukkan jantung atau otak atau darah atau gen atau sebagainya sebagai tempat kesadaran. Namun secara nyata pula bahwa batin dan jasmani berproses secara terpadu dan batin muncul di dalam landasan batin tersebut.

Catatan: Lima kelompok perpaduan = batin dan jasmani, terdiri dari :
Perasaaan, pencerapan, faktor batin, kesadaran dan materi