Satu hari, ketika Sang
Buddha berdialog dengan perumah tangga terkemuka bernama Anathapindika, beliau
membuat komentar berikut ini terhadap penggunaan doa-doa :
“ O perumah tangga,
terdapat lima hal yang diinginkan, menyenangkan dan disetujui yang jarang di
dunia ini. Apakah kelima hal tersebut ? Mereka adalah umur panjang, kecantikan
(ketampanan), kegembiraan, nama baik (kemasyuran) dan (tumimbal lahir) di alam
surga. Namun, o perumah tangga, di antara kelima hal ini, saya tidak mengajarkan
bahwa mereka diperoleh dengan doa (ayacana-hetu) atau bersumpah kaul
(patthana-hetu). Apabila seseorang dapat memperoleh kelima hal itu hanya dengan
doa atau kaul, siapakah yang tidak akan melakukannya ?
Bagi siswa yang mulia, O
perumah tangga, yang berharap memiliki umur panjang, tidaklah tepat jika ia
harus berdoa bagi umur panjang atau merasa senang melakukan hal itu. Ia
seyogyanya lebih baik mengikuti satu jalan kehidupan ( Dana, Sila, Bhavana)
yang menunjang panjangnya umur. Dengan
mengikuti jalan tersebut ia akan memperoleh umur panjang baik sebagai mahluk
surgawi maupun manusia.
Bagi siswa yang mulia, O
perumah tangga, yang berharap memiliki kecantikan... kegembiraan...
kemasyuran... (tumimbal lahir) di alam surga, tidaklah tepat jika ia harus
berdoa bagi hal itu atau merasa senang melakukan hal itu. Ia seyogyanya lebih
baik mengikuti satu jalan kehidupan ( Dana, Sila, Bhavana) yang menunjang
kecantikan...kegembiraan...kemasyuran...(tumimbal lahir) di alam surga. Dengan
mengikut jalan tersebut ia akan (tumimbal lahir) di alam surga.”
(Anguttara Nikaya, Pancaka Nipata
no. 43)
Di antara semua guru pada
jamannya, Sang Buddha dikenal sebagai seorang Kamma-vadin, yaitu
seorang yang mengajarkan kemanjuran dan pentingnya perbuatan. Di dalam doktrin
dan ajarannya, bukan dengan
permohonan terhadap kekuatan yang tak terlihat melalui upacara keagamaan
tradisional bahwa seseorang dapat memperoleh manfaat yang diinginkannya; namun
mereka harus berpenghidupan benar, baik dari pikiran, perkataan dan aktivitas
jasmani. Hal ini merupakan dasar ajaran etika Buddha Dhamma. Dalam dunia modern
sekarang, tanpa hal di atas, masyarakat berintelegensia cukup tinggi akan
mempertanyakan VALIDITAS tindakan
tersebut. Berbagai gejala keraguan dan kemerosotan moral saat ini didasarkan
karena kurangnya pengertian akan prinsip sebab akibat moral ini.
Belenggu ketiga dari
sepuluh belenggu yang harus dihancurkan sebelum sotapatti-magga (tingkat pembebasan pertam) dicapai, adalah silabbataparamasa, kepercayaan dan
kemelekatan akan ritual yang kosong semata yang membawa ke kesucian. Di jaman
kehidupan Sang Buddha, hal ini berarti ritual yang dilakukan sebagian besar
orang jaman itu, seperti memuja api yang dianggap suci ( yang disebut sebagai
tindakan sia-sia di dalam Dhammapada ), dan sumpah-sumpah dari para pertapa
ekstrim yang dilakukan oleh perta telanjang dari aliran Nigantha, dan yang lain
yang hidup seperti anjing dan sapi. Silabbataparamasa juga mencakup persembahan
dan pengorbanan kepada para dewa; yang jauh lebih lama sebelum kelahiran
Buddha, dikenal dalam syair dan doa-doa. Sang Buddha yang juga telah mengenal
hal tersebut, telah menemukannya sebagai hal yang sia-sia setelah Beliau
merealisasi Pencerahan Agung. Di dalam naskah yang dipetik di atas, Beliau
bahkan menolaknya sebagai cara untuk memperoleh manfaat duniawi. Guna mengerti
posisi yang diambil oleh Sang Buddha, sangatlah perlu bagi kita untuk meneliti
sifat alamiah doa dan pemujaan secara umum.
Tampaknya, merupakan
naluri dasariah di dalam sifat alami manusia untuk berdoa bila di dalam
kebutuhan atau stres. Doa adalah sarana yang dipakainya untuk berhubungan
dengan kekuatan yang lebih tinggi, baik sebagai pembimbing atau untuk
mengintervensi ke dalam situasi yang dia sendiri, secara individu tak dapat memecahkannya.
Kekuatan luar yang bonafid yang dia harapkan, mungkin nyata atau mungkin
imajinasi, namun apa pun itu, kasus-kasus yang banyak disebarluaskan adalah
yang tampaknya menunjukkan bahwa doanya kadang diikuti oleh hasil yang
diinginkan.
No comments:
Post a Comment