Pannakatha

Seperti apakah konsep anicca dukkha anatta dalam penerapan kehidupan keseharian, mari kita simak kumpulan artikel artikel Pannakatha yang merupakan karya terjemahan bercampur dengan kompilasi dari berbagai buku yang dilakukan oleh penyusun dan diterbitkan dalam bentuk leaflet sejak tahun 1990-an dalam rangka memenuhi kebutuhan permenungan pokok-pokok penting hakikat kehidupan, dan atas praktik Buddha dhamma di dalam kehidupan sehari-hari dari beberapa pendukung yang menyebarkannya di berbagai kota di Nusantara. Atas berbagai masukan, maka leaflet tersebut di kumpulkan dan di rangkai kembali menjadi satu didalam buku kecil dan sekarang di tuangkan dalam bentuk website ini. Semoga dapat memberikan sumbangsih memperkaya referensi dan bahan renungan Buddha Dhamma dalam praktik keseharian dengan berbagai perumpamaan yang tersebar didalam Tipitaka

Dhamma menjadi berkah mulia bagi kita

Selamat Rodjali Webblog : http://tilakkhana-tigacorakkehidupan.blogspot.com

Creator:Mirawati Mulyadi

Thursday 31 July 2014

Doa dan Upacara Pemujaan

            Satu hari, ketika Sang Buddha berdialog dengan perumah tangga terkemuka bernama Anathapindika, beliau membuat komentar berikut ini terhadap penggunaan doa-doa :
            “ O perumah tangga, terdapat lima hal yang diinginkan, menyenangkan dan disetujui yang jarang di dunia ini. Apakah kelima hal tersebut ? Mereka adalah umur panjang, kecantikan (ketampanan), kegembiraan, nama baik (kemasyuran) dan (tumimbal lahir) di alam surga. Namun, o perumah tangga, di antara kelima hal ini, saya tidak mengajarkan bahwa mereka diperoleh dengan doa (ayacana-hetu) atau bersumpah kaul (patthana-hetu). Apabila seseorang dapat memperoleh kelima hal itu hanya dengan doa atau kaul, siapakah yang tidak akan melakukannya ?
            Bagi siswa yang mulia, O perumah tangga, yang berharap memiliki umur panjang, tidaklah tepat jika ia harus berdoa bagi umur panjang atau merasa senang melakukan hal itu. Ia seyogyanya lebih baik mengikuti satu jalan kehidupan ( Dana, Sila, Bhavana) yang menunjang panjangnya umur.  Dengan mengikuti jalan tersebut ia akan memperoleh umur panjang baik sebagai mahluk surgawi maupun manusia.
            Bagi siswa yang mulia, O perumah tangga, yang berharap memiliki kecantikan... kegembiraan... kemasyuran... (tumimbal lahir) di alam surga, tidaklah tepat jika ia harus berdoa bagi hal itu atau merasa senang melakukan hal itu. Ia seyogyanya lebih baik mengikuti satu jalan kehidupan ( Dana, Sila, Bhavana) yang menunjang kecantikan...kegembiraan...kemasyuran...(tumimbal lahir) di alam surga. Dengan mengikut jalan tersebut ia akan (tumimbal lahir) di alam surga.”
            (Anguttara Nikaya, Pancaka Nipata no. 43)
            Di antara semua guru pada jamannya, Sang Buddha dikenal sebagai seorang Kamma-vadin, yaitu seorang yang mengajarkan kemanjuran dan pentingnya perbuatan. Di dalam doktrin dan ajarannya, bukan  dengan permohonan terhadap kekuatan yang tak terlihat melalui upacara keagamaan tradisional bahwa seseorang dapat memperoleh manfaat yang diinginkannya; namun mereka harus berpenghidupan benar, baik dari pikiran, perkataan dan aktivitas jasmani. Hal ini merupakan dasar ajaran etika Buddha Dhamma. Dalam dunia modern sekarang, tanpa hal di atas, masyarakat berintelegensia cukup tinggi akan mempertanyakan VALIDITAS tindakan tersebut. Berbagai gejala keraguan dan kemerosotan moral saat ini didasarkan karena kurangnya pengertian akan prinsip sebab akibat moral ini.
            Belenggu ketiga dari sepuluh belenggu yang harus dihancurkan sebelum sotapatti-magga (tingkat pembebasan pertam) dicapai, adalah silabbataparamasa, kepercayaan dan kemelekatan akan ritual yang kosong semata yang membawa ke kesucian. Di jaman kehidupan Sang Buddha, hal ini berarti ritual yang dilakukan sebagian besar orang jaman itu, seperti memuja api yang dianggap suci ( yang disebut sebagai tindakan sia-sia di dalam Dhammapada ), dan sumpah-sumpah dari para pertapa ekstrim yang dilakukan oleh perta telanjang dari aliran Nigantha, dan yang lain yang hidup seperti anjing dan sapi. Silabbataparamasa juga mencakup persembahan dan pengorbanan kepada para dewa; yang jauh lebih lama sebelum kelahiran Buddha, dikenal dalam syair dan doa-doa. Sang Buddha yang juga telah mengenal hal tersebut, telah menemukannya sebagai hal yang sia-sia setelah Beliau merealisasi Pencerahan Agung. Di dalam naskah yang dipetik di atas, Beliau bahkan menolaknya sebagai cara untuk memperoleh manfaat duniawi. Guna mengerti posisi yang diambil oleh Sang Buddha, sangatlah perlu bagi kita untuk meneliti sifat alamiah doa dan pemujaan secara umum.

            Tampaknya, merupakan naluri dasariah di dalam sifat alami manusia untuk berdoa bila di dalam kebutuhan atau stres. Doa adalah sarana yang dipakainya untuk berhubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, baik sebagai pembimbing atau untuk mengintervensi ke dalam situasi yang dia sendiri, secara individu tak dapat memecahkannya. Kekuatan luar yang bonafid yang dia harapkan, mungkin nyata atau mungkin imajinasi, namun apa pun itu, kasus-kasus yang banyak disebarluaskan adalah yang tampaknya menunjukkan bahwa doanya kadang diikuti oleh hasil yang diinginkan.

No comments:

Post a Comment