Pannakatha

Seperti apakah konsep anicca dukkha anatta dalam penerapan kehidupan keseharian, mari kita simak kumpulan artikel artikel Pannakatha yang merupakan karya terjemahan bercampur dengan kompilasi dari berbagai buku yang dilakukan oleh penyusun dan diterbitkan dalam bentuk leaflet sejak tahun 1990-an dalam rangka memenuhi kebutuhan permenungan pokok-pokok penting hakikat kehidupan, dan atas praktik Buddha dhamma di dalam kehidupan sehari-hari dari beberapa pendukung yang menyebarkannya di berbagai kota di Nusantara. Atas berbagai masukan, maka leaflet tersebut di kumpulkan dan di rangkai kembali menjadi satu didalam buku kecil dan sekarang di tuangkan dalam bentuk website ini. Semoga dapat memberikan sumbangsih memperkaya referensi dan bahan renungan Buddha Dhamma dalam praktik keseharian dengan berbagai perumpamaan yang tersebar didalam Tipitaka

Dhamma menjadi berkah mulia bagi kita

Selamat Rodjali Webblog : http://tilakkhana-tigacorakkehidupan.blogspot.com

Creator:Mirawati Mulyadi

Wednesday 23 July 2014

Manusia Dan Kalajengking

Cinta kasih (metta) akan selalu berdampingan dengan belas kasihan (karuna). Apabila kita memiliki batin yang penuh cinta kasih maka belas kasihan dengan mudah akan muncul dalam batin. Bilamana kita melihat seseorang menderita, kita akan terpacu untuk cepat-cepat mengulurkan tangan dan meringankan penderitaan orang tersebut. Belas kasihan memiliki kualitas ingin mengeliminasikan penderitaan seperti tadi. Belas kasihan secara khusus dirasakan ketika kita melakukan kegiatan spontan (tanpa diajak) untuk menyingkirkan atau meringankan penderitaan mahluk lain. Satu cerita dibawah ini akan menolong untuk menjelaskan hal penting tadi.

Seseorang melihat seekor kalajengking tenggelam ke dalam genangan air. Satu keinginan spontan untuk menyelamatkan kalajengking itu muncul di dalam batin orang itu, dan tanpa ragu ia mengulurkan tangannya, mengangkat kalajengking itu dari genangan, dan meletakannya di atas tanah. Kalajengking itu menyengatnya. Dan berkeinginan untuk menyeberangi jalan, kalajengking itu mulai berjalan dan kepalanya menuju genangan itu lagi ! Melihat kalajengking itu menggelepar dan tenggelam lagi di dalam genangan, orang itu kemudian mengangkatnya ke atas dan disengat lagi. Seseorang yang datang ke dekatnya dan melihat semua yang telah terjadi, berkata kepada orang tersebut : Mengapa kamu begitu bodoh ? Sekarang kamu mengalami bahwa kamu telah disengat bukan satu kali elainkan dua kali. Hal yang sungguh bodoh bila mencoba untuk menolong seekor kalajengking”. Orang itu menjawab: “Pak, saya tak dapat menghindarinya. Kamu dapat melihatnya, merupakan sifat alamiah seekor kalajengking untuk menyengat. Namun juga merupakan sifat alamiah saya untuk menyelamatkan. Saya tak dapat menolong tetapi hanya mencoba untuk menyelamatkan kalajengking itu”

Benar, orang tersebut sebenarnya dapat melatih beberapa kebijaksanaan dan menggunakan sebatang kayu atau sesuatu untuk menarik kalajengking itu keluar. Namun ia mungkin telah berpikir bahwa ia dapat mengangkat kalajengking itu dengan tangannya sedemikian rupa sehingga tidak tersengat. Atau ia mungkin telah berpikir bahwa seekor kalajengking dalam keadaan demikian tidak akan menyengatnya. Apapun jadinya, sisi moral dari cerita ini yaitu sikap tanggap yang spontan dari orang itu dalam menginginkan untuk menyelamatkan mahluk lain, walaupun mahluk tersebut seeokor serangga.. Inipun menunjukkan bahwa orang yang penuh belas kasihan, dalam hal tersebut walaupun ia akan menerima tindakan yang tak baik dari seseorang yang ditolongnya, tidaklah menjadi masalah. Sudah merupakan sifat alamiahnya untuk menolong, dan apabila dapat menolong lagi, ia akan menolong. Ia tidak memiliki lagi keinginan untuk menyimpan dendam atau kebencian !

Oleh karena itu, belas kasihan merupan bahasa batin. Pada saat kita dimotivasi oleh cinta kasih dan belas kasihan, kita terpicu untuk menolong tanpa membedakan ras (warna kulit), agama atau kebangsaan dari mahluk yang ditolong tersebut. Dalam sisi belas kasihan, identifikasi terhadap ras, agama dan sebagainya dikesampingkan; hal-hal ini menjadi tidak signifikan. Selanjutnya, belas kasihan tersebut tidak hanya ditujukan kepada manusia, tetapi juga terhadap semua mahluk hidup termasuk mahluk setan, binatang dan serangga. Dalam rangka tema belas kasihan sebagai bahasa batin, ada sebuah puisi yang cukup relevan, sebagai berikut :

Sekte Mahayana, Theravada, Vajrayana;
Agama Kristen, Buddha, Islam, Hindu;
Bangsa Indonesia, Cina, India,Eropa,Jepang, Malaysia, Amerika, Afrika;
Orang kulit putih, kulit hitam, kulit kuning,
dan seterusnya dan sejenisnya sebagaimana kamu sukai.

Apakah yang menjadi masalah?

Bahasa dari belas kasihan adalah bahasa batin !

Ketika batin berbicara
Seribu bunga merekah
dan cinta kasih mengalir
seperti matahari pagi
meradiasi menembus jendela.

Tak ada kata-kata yang diperlukan
sebuah pemadangan, sebuah sentuhan
akan cukup untuk berkata
bahkan seribu kata tidak dapat menjelaskan.

Dan belas kasihan memancarkan cahaya
seperti radiasi sinar bintang
di dalam langit malam.

Penghalang hancur luluh
Prasangka menggelepar
Keunggulan diperoleh kembali

Cinta kasih (metta) dan Belas Kasihan (karuna)
menaklukan semua ketakutan dan kekhawatiran
menyembuhkan luka-luka yang merajalela.

Kita akan merasakan bahwa apabila kita mencoba untuk melatih jenis cinta kasih dan belas kasihan ini, ketika kematian menyambut kita, maka kita akan ikut bersamanya dengan tenang. Meninggal dunia dengan tenang dalam arti yang lebih pantas dibandingkan kata ‘meninggal dunia dengan tenang’ seperti yang sering dijumpai di dalam kolom berita duka cita surat kabar.



Antara Melekat Vs Bijaksana

Para bhikkhu, seseorang yang belum merealisasi pencerahan sempurna, yang tidak terpelajar, mengalami perasaan-perasaan menyenangkan, perasaan-perasaan tidak menyenangkan dan perasaan-perasaan bukan menyenangkan pun bukan tidak menyenangkan (netral). Para siswa mulia, yang terpelajar, juga mengalami perasaan-perasaan menyenangkan, perasaan-perasaan tidak menyenangkan dan perasaan-perasaan bukan menyenangkan pun bukan tidak menyenangkan (netral). Para bhikkhu, dalam hal ini, apakah pembeda, faktor penentu yang membuat kontras di antara siswa mulia dan terpelajar dengan orang-orang yang tidak terpelajar dan belum merealisasi pencerahan sempurna ?

Ketika seseorang yang tidak terpelajar, yang belum merealisasi pencerahan sempurna, mengalami perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan, ia mengeluh, meratap, bersedih, meraung-raung, memukul-mukul dadanya dan kebingungan serta putus asa; ia mengalami dua jenis perasaan, yaitu perasaan yang dialami melalui media jasmani dan perasaan langsung melalui batinnya.

“Kelihatannya seolah-olah seorang pemanah, yang telah melepaskan anak panah pertamanya kepada seseorang, kemudian melepaskan kembali anak panah yang kedua. Orang yang terkena panah tersebut akan merasakan nyeri dari kedua panah tersebut. Demikianlah orang yang tidak terpelajar, yang belum merealisasi pencerahan sempurna. Ia mengalami dua macam nyeri, yaitu nyeri melalui media jasmani dan nyeri batiniah.

“Lebih jauh lagi, di dalam mengalami perasaan yang tidak menyenangkan, ia merasa tidak senang. Dengan tidak senang terhadap perasaan tidak menyenangkan tersebut, kecenderungan laten kebencian (patighanusaya) terhadap perasaan-perasaan tidak menyenangkan terakumulasi. Berhadapan dengan perasaan tidak menyenangkan, ia mencari kesenangan di dalam nafsu indera. Mengapa demikian? Sebab, orang yang tidak terpelajar, yang belum merealisasi pencerahan sempurna tidak mengetahui cara lain untuk terbebas dari perasaan tidak menyenangkan selain mencari selingan di dalam nafsu indera. Dengan senangnya di dalam nafsu indera, kecenderungan laten nafsu (raganusaya) terhadap perasaan-perasaan menyenangkan tersebut terakumulasi. Ia tidak mengetahui kemunculan, kepadaman, kontraksi, keterbatasan dan terbebasnya dari perasaan-perasaan tersebut sebagaimana hakekat yang sesungguhnya, maka kegelapan batin (avijjanusaya) terhadap perasaan netral terakumulasi. Mengalami perasaan menyenangkan ia terikat kepadanya, mengalami perasaan tidak menyenangkan ia terikat kepadanya, mengalami perasaan neteral ia terikat kepadanya. Para bhikkhu, demikianlah orang yang tidak terpelajar, yang belum merealisasi pencerahaan sempurna terikat kepada kelahiran, ketuaan, kematian, duka cita, ratapan / keluh kesah, kesakitan, kesedihan dan keputus-asaan. Saya katakan, ia terikat oleh penderitaan.

“ Para bhikkhu, seorang siswa yang terpelajar, yang telah merealisasi pencerahan sempurna, ketika mengalami perassan tidak menyenangkan, ia tidak sedih, tidak meratap, tidak meraung-raung ataupun memukul-mukul dadanya. Ia tidak menderita. Ia mengalami sakit hanya di badan, namun batinnya tidak sakit.

“ Kelihatannya seperti seorang pemanah, setelah memanahkan anak panahnya yang pertama kepada seseorang, kemudian memanahkan anak panah keduanya, namun tidak mengenai sasaran; dalam hal ini orang yang terpanah akan mengalami nyeri saat panah pertama mengenainya. Demikianlah orang yang terpelajar, yang telah merealisasi pencerahan sempurna. Ia  mengalami sakit hanya pada badannya, namun batinnya tidak sakit.

“ Lebih jauh lagi, ia tidak mengalami ketidaksenangan terhadap perasaan yang tidak menyenangkan. Dengan mengatasi ketidaksenangan terhadap perasaan tidak menyenangkan, kecenderungan laten kebencian terhadap perasaan tidak menyenangkan tidak terakumulasi. Mengalami perasaan tidak menyenangkan itu, ia tidak mencari selingan dalam nafsu indera. Mengapa tidak ? Sebab orang yang terpelajar, yang telah merealisasi pencerahan sempurna mengetahui cara untuk terbebas dari perasaan tidak menyenangkan daripada bersenang di dalam selingan nafsu indera.  Dengan tidak mencari selingan di dalam nafsu indera, kecenderungan laten nafsu terhadap perasaan menyenangkan tidak terakumulasi. Ia mengetahui kemunculan, kepadaman, kontraksi, keterbatasan dan kebebasan dari perasaan-perasaan sebagaimana hakekat yang sesungguhnya. Dengan mengetahui hal-hal ini sebagaimana hakekat yang sesungguhnya, kecenderungan laten kegelapan batin terhadap perasaan netral tidak terakumulasi. Mengalami perasaan yang tidak menyenangkan, ia tidak terikat kepadanya; mengalami perasaan netral, ia tidak terikat kepadanya. Para bhikkhu, demikianlah orang yang terpelajar, yang telah merealisasi pencerahan sempurna, terbebas dari kelahiran, ketuaan, kematian, duka cita, ratapan, kesakitan, kesedihan dan keputus-asaan. Saya katakan, ia terbebas dari penderitaan.

“Para bhikkhu, inilah pembeda, faktor penentu pembuat kontras, antara mereka yang terpelajar dan telah merealisasi pencerahan sempurna dengan mereka yang tidak terpelajar dan belum merealisasi pencerahan sempurna.