Pannakatha

Seperti apakah konsep anicca dukkha anatta dalam penerapan kehidupan keseharian, mari kita simak kumpulan artikel artikel Pannakatha yang merupakan karya terjemahan bercampur dengan kompilasi dari berbagai buku yang dilakukan oleh penyusun dan diterbitkan dalam bentuk leaflet sejak tahun 1990-an dalam rangka memenuhi kebutuhan permenungan pokok-pokok penting hakikat kehidupan, dan atas praktik Buddha dhamma di dalam kehidupan sehari-hari dari beberapa pendukung yang menyebarkannya di berbagai kota di Nusantara. Atas berbagai masukan, maka leaflet tersebut di kumpulkan dan di rangkai kembali menjadi satu didalam buku kecil dan sekarang di tuangkan dalam bentuk website ini. Semoga dapat memberikan sumbangsih memperkaya referensi dan bahan renungan Buddha Dhamma dalam praktik keseharian dengan berbagai perumpamaan yang tersebar didalam Tipitaka

Dhamma menjadi berkah mulia bagi kita

Selamat Rodjali Webblog : http://tilakkhana-tigacorakkehidupan.blogspot.com

Creator:Mirawati Mulyadi

Monday 28 July 2014

Surga Seekor Katak

Ketika itu, Sang Buddha sedang menetap di Campa, di tepi kolam teratai Gaggara. Saat pagi hari dan setelah mengamati dengan penuh kasih sayang beliau ‘melihat’ Hari ini ketika di sore hari saya sedang mengajarkan Dhamma, seekor katak, mendengarkan suara saya dan menjadi tertarik, menderita sakit karena tangan seseorang, dan akan terbunuh; ia akan tumimbal lahir di alam dewa dan ini akan terjadi ketika sejumlah banyak orang sedang menyaksikan; dengan cara demikian sungguh merupakan penetrasi yang besar terhadap Dhamma.

Hari itu Beliau mengerjakannya dengan sangat baik, di tepi kolam Beliau mengajar kepada ‘pertemuan’ dari empat penjuru. Kemudian seekor katak, berpikir,” Inilah yang disebut Dhamma,” keluar dari kolam dan berdekam di belakang para pendengar. Dan seorang penggembala sapi, melihat Sang Buddha berbicara dan para hadirin mendengarkan dengan tenang, duduk bersandar pada siku tangannya, namun meremukkan katak tersebut. Katak itu tumimbal lahir di alam Surga Tiga Puluh Tiga Deva (Tavatimsa) dengan rumah keemasan sejauh 12 yojana dan disertai oleh para bidadari. Merenungkan terhadap apa yang telah dilakukannya untuk tumimbal lahir di sana ia tidak melihat apapun kecuali ketertarikannya terhadap suara Sang Buddha.

Sang Buddha mengungkapkan dengan mulia dan bertanya kepadanya ;
  1. “Siapa, yang cemerlang dengan potensi batin, dengan keindahan melebihi yang lain membuat semua penjuru terang, yang menghormat di bawah kaki saya?”
      Kemudian, deva muda tersebut, berkata tentang satu kehidupannya yang   lampau, menjelaskan dalam syair berikut :
  1. “Saya dahulu adalah seekor katak, penghuni air. Namun, ketika saya sedang mendengarkan Dhamma yang dibabarkan, seorang penggembala sapi tak sengaja membunuh saya
  2. Bagi sesaat ketenangan batin, terlihatlah potensi batin dan kemuliaan, keindahan saya dan terlihatlah pula kecemerlangan saya.
  3. Bagii mereka yang telah ‘lama’ mendengarkan Dhamma, Gotama itulah mereka yang telah merealisasi kekekalan di mana mereka tidak lagi menderita”

Kemudian Sang Buddha, melihat kualifikasi yang telah dicapai oleh para pendengar, mengajarkan Dhamma kembali secara penuh. Pada akhir dari ajaran tersebut, Dewa muda itu merealisasi tingkat kesucian pertama (Sotapanna).

Setelah menghormati Sang Buddha, Deva muda tersebut kembali ke alam surga


Sekolah Binatang

Satu bidang yang sangat kritis di dalam penyebaran dan praktik Buddha Dhamma yang tepat guna dalam rangka merealisasi kebahagiaan sejati adalah tempat penyebaran itu sendiri. Beragamnya tingkat kebudayaan, persepsi, minat, pengalamann dan kematangan batin para peserta di tempat penyebaran tersebut juga sangat mempengaruhi efektivitas dan kecepatan pencapaian tujuan tersebut.

Satu cerita di bawah ini dapat kita renungkan bersama maknanya sehingga kita dapat mengambil tindakan yang tepat di dalam upaya mencapai tujuan jangka pendek maupun merealisasi kebahagiaan sejati.

Alkisah pada satu masa, para binatang memutuskan bahwa mereka harus melakukan sesuatu yang heroik guna mengatasi masalah yang timbul dalam “satu dunia baru”. Jadi mereka mendirikan sebuah sekolah.

Mereka menerapkan kurikulum yang terdiri dari : lari, memanjat, renang, dan terbang. Untuk mempermudah pengaturan kurikulum itu, semua binatang harus mengambil semua mata pelajaran tersebut.

Itik piawai dalam renang, bahkan sesungguhnya lebih baik ketimbang instrukturnya, namun ia lulus dengan angka minimum dalam terbang dan sangat buruk dalam lari. Karena lamban dalam lari, ia harus tetap tinggal seusai jam sekolah dan juga melepaskan mata pelajaran renang hanya untuk belajar lari. Ini berlangsung terus-menerus sehingga kakinya yang berselaput menjadi terlalu letih dan ia pun hanya memperoleh angka rata-rata dalam renang.

Tetapi angka rata-rata masih bisa diterima di sekolah, jadi tak satupun yang merisaukannya kecuali si itik itu sendiri.

Kelinci menjadi juara kelas dalam lari, tetapi mengalami gangguan sarat karena terlampau banyak tugas perbaikan dalam mata pelajaran renang.

Tupai hebat dalam memanjat, namun ia merebakkan rasa frustrasi di kelas terbang di mana gurunya kecapekan menyuruhnya memulai dari tanah ke atas dan bukannya dari puncak pohon ke bawah. Ia juga dilanda “kram kaki dan tangan”, karena usaha yang terlampau keras serta kemudian malah mendapat nilai C dalam memanjat dan D dalam lari.

Sang elang adalah anak yang menyusahkan dan juga sulit didisiplinkan. Di dalam kelas memanjat, ia mengungguli semua binatang yang lain untuk sampai di puncak pohon, namun menuntut untuk menggunakan caranya sendiri untuk sampai di sana.

Pada akhir tahun, seekor belut yang abnormal yang dapat berenang dengan baik, dan juga sedikit lari, memanjat dan terbang, meraih angka rata-rata tertinggi dan menyampaikan kata-kata perpisahan.

Anjing padang rumput keluar dari sekolah dan menentang iuran sekolah karena pengelolanya tidak memperbolehkan pencantuman pelajaran menggali liang ke dalam kurikulum. Anjing-anjing itu mengirim anaknya untuk magang ke seekor luak dan kemudian bergabung dengan para marmut serta tikus celurut untuk memulai sebuah sekolah swasta yang sukses.


Apakah fabel ini memiliki suatu pesan moral ? Sepenuhnya tergantung tingkat ketajaman persepsi, analisa, kecenderungan dan pengalaman para pembaca.