Satu bidang yang sangat kritis di dalam penyebaran dan praktik Buddha
Dhamma yang tepat guna dalam rangka merealisasi kebahagiaan sejati adalah
tempat penyebaran itu sendiri. Beragamnya tingkat kebudayaan, persepsi, minat,
pengalamann dan kematangan batin para peserta di tempat penyebaran tersebut
juga sangat mempengaruhi efektivitas dan kecepatan pencapaian tujuan tersebut.
Satu cerita di bawah ini dapat kita renungkan bersama maknanya sehingga
kita dapat mengambil tindakan yang tepat di dalam upaya mencapai tujuan jangka
pendek maupun merealisasi kebahagiaan sejati.
Alkisah pada satu masa, para binatang memutuskan bahwa mereka harus
melakukan sesuatu yang heroik guna mengatasi masalah yang timbul dalam “satu
dunia baru”. Jadi mereka mendirikan sebuah sekolah.
Mereka menerapkan kurikulum yang terdiri dari : lari, memanjat, renang, dan
terbang. Untuk mempermudah pengaturan kurikulum itu, semua binatang harus
mengambil semua mata pelajaran tersebut.
Itik piawai dalam renang, bahkan sesungguhnya lebih baik ketimbang
instrukturnya, namun ia lulus dengan angka minimum dalam terbang dan sangat
buruk dalam lari. Karena lamban dalam lari, ia harus tetap tinggal seusai jam
sekolah dan juga melepaskan mata pelajaran renang hanya untuk belajar lari. Ini
berlangsung terus-menerus sehingga kakinya yang berselaput menjadi terlalu
letih dan ia pun hanya memperoleh angka rata-rata dalam renang.
Tetapi angka rata-rata masih bisa diterima di sekolah, jadi tak satupun
yang merisaukannya kecuali si itik itu sendiri.
Kelinci menjadi juara kelas dalam lari, tetapi mengalami gangguan sarat
karena terlampau banyak tugas perbaikan dalam mata pelajaran renang.
Tupai hebat dalam memanjat, namun ia merebakkan rasa frustrasi di kelas
terbang di mana gurunya kecapekan menyuruhnya memulai dari tanah ke atas dan
bukannya dari puncak pohon ke bawah. Ia juga dilanda “kram kaki dan tangan”,
karena usaha yang terlampau keras serta kemudian malah mendapat nilai C dalam
memanjat dan D dalam lari.
Sang elang adalah anak yang menyusahkan dan juga sulit didisiplinkan. Di
dalam kelas memanjat, ia mengungguli semua binatang yang lain untuk sampai di
puncak pohon, namun menuntut untuk menggunakan caranya sendiri untuk sampai di
sana.
Pada akhir tahun, seekor belut yang abnormal yang dapat berenang dengan
baik, dan juga sedikit lari, memanjat dan terbang, meraih angka rata-rata
tertinggi dan menyampaikan kata-kata perpisahan.
Anjing padang rumput keluar dari sekolah dan menentang iuran sekolah karena
pengelolanya tidak memperbolehkan pencantuman pelajaran menggali liang ke dalam
kurikulum. Anjing-anjing itu mengirim anaknya untuk magang ke seekor luak dan
kemudian bergabung dengan para marmut serta tikus celurut untuk memulai sebuah
sekolah swasta yang sukses.
Apakah fabel ini memiliki suatu pesan moral ? Sepenuhnya tergantung tingkat
ketajaman persepsi, analisa, kecenderungan dan pengalaman para pembaca.