Pertanyaan di atas seringkali muncul pada pendatang baru yang mulai belajar
Buddha Dhamma. Mereka berpikir:”Apabila tidak ada aku/diri (anatta), termasuk
jasmani dan batin, bagaimana mungkin terdapat perbuatan (kamma)? Siapa yang
melakukan perbuatan (kamma)? Siaya yang menerima hasil (vipaka)perbuatan?
Keraguan di atas ternyata tidak hanya dijumpai saat ini tetapi juga pada jaman
Sang Buddha
Marilah kita mengamati ceritera berikut :
Misalkan para pembaca dan penulis berdiri bersama di tepi sebuah sungai,
mengamati airnya yang sedang mengalir. Air mengalir pada area yang hampir
datar, sehingga alirannya itu sangat lambat. Tanah pada area tersebut berwarna
merah, menyebabkan air itu kemerahan. Sungai itu mengalir melalui banyak area
yang populasinya padat di mana orang-orang telah lama membuang sesuatu yang
tidak bermanfaat ke dalamnya, di tambah kotoran industri yang terlimpah ke
dalam aliran air itu oleh sejumlah besar pabrik-pabrik yang di bangun. Oleh
karena itu, air tersebut hampir tidak dihuni oleh sebagian besar binatang. Di
dalamnya tidak banyak ikan,udang dan sebagainya. Dalam satu kata, air yang kita
perhatikan itu kemerahan,kotor,terpolusi,jarang penghuninya.Semua ciri-ciri itu
secara bersamaan merupakan ciri-ciri khusus air itu.Beberapa ciri ini mungkin
mirip dengan sungai lain,namun sejumlah total ciri-ciri ini unik bagi aliran
air tersebut.
Sekarang kita diinformasikan bahwa aliran air ini dinamakan sungai
Berantas.Orang yang berbeda menggambarkannya dengan cara yang berbeda pula.
Beberapa orang mengatakan bahwa sungai Berantas kotor dan tidak memiliki banyak
ikan. Beberapa lainnya mengatakan bahwa sungai Berantas mengalir sangat lambat.
Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa sungai Berantas berwarna kemerahan.
Berdiri di tepi sungai, tampak pada kita bahwa air yang kita amati itu
sesungguhnya lengkap dengan sendirinya. Atribut-atribut bagi sungai itu,
seperti berwarna kemerahan, kotor dan sebagainya, semuanya disebabkan oleh
berbagai faktor yang mengkondisikan, seperti : aliran air kontak dengan tanah
merah. Ditambah, air yang kita amati itu secara konstan mengalir. Air yang kita
lihat pertama tidak lagi disini, dan air yang kita amati saat ini akan berlalu
dnegan cepat. Demikian pula, sungai itu memiliki sifat unik (khas), yang tidak
tampak berubah selama faktor-faktor yang mengkondisikannya belum tampak berubah
(padahal berubah setiap saat secara kontinyu)
Namun kita diberitahukan bahwa itu adalah sungai Berantas, mereka
mengatakan bahwa sungai Berantas kotor, dan sedikit ikannya. Secara sepintas,
kita tidak dapat melihat “sungai Berantas” selain dari air yang mengalir itu.
Ditambah lagi, mereka menceritakan kepada kita bahwa sungai Berantas memotong
tanah merah yang dilaluinya, yang menyebabkan airnya berwarna merah. Hampir
seolah-olah sungai Berantas ini melalukan sesuatu terhadap tanah merah itu, dan
menyebabkan tanah merah itu “menghukum” sungai itu sehingga airnya menjadi
merah.
Kita dapat dengan jelas melihat, bahwa air itu merupakan subyek dari proses
sebab dan akitbat yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mengkondisikan;
air mencebur ke tanah merah dan tanah merah itu larut ke dalam air merupakn
salah satu kondisi sebab, akibatnya air itu berwarna merah. Kita tidak dapat
menemukan “tubuh” yang melakukan sesuatu atau menerima akibatnya. Kita
sesungguhnya tidak dapat melihat sungai Berantas di manapun. Air yang mengalir
di depan kita segera mengalir pergi, air yang lebih dulu terlihat tidak lagi di
sini. Air yang baru secara konstan segera menggantikan kedudukan air yang telah
mengalir. Kita dapat mendefiniskan air itu hanya dengan menggambarkan
faktor-faktor yang mengkondisikannya dan kejadian-kejadian yang muncul sebagai
akibat faktor kondisi tersebut, yang menyebabkan ciri-ciri seperti yang kita amati.
Apabila terdapat sungai Berantas yang nyata dan tidak berubah, tidaklah mungkin
bagi aliran air itu untuk berjalan menurut berbagai faktor penentunya. Akhirnya
kita melihat bahwa sungai Berantas ini berlebihan dan tak berguna. Kita dapat
berbicara tentang air itu tanpa direpotkan dengan”sungai Berantas” ini. Dalam
hakekat yang sesungguhnya tidak ada sungai Berantas lagi.
Seraya waktu berlalu, kita mengadakan perjalanan ke sebuah kota baru.
Dengan berkehendak menceriterakan air yang kita telah lihat pada waktu yang
lewat kepada orang-orang di kota ini, kita menemukan kesulitan. Kemudian kita
memanggil seseorang yang menceritakan kepada kita bahwa air itu dikenal sebagai
sungai Berantas. Mengetahui hal ini, kita dapat menghubungkan pengalaman kita
dengan lancar, dan orang-orang dapat mendengarkan dengan penuh perhatian dan
ketertarikan. Kita memberitahukannya bahwa sungai Berantas memiliki air yang
kotor, tidak banyak ikan, terpolusi dan berwarna merah.
Pada saat itu kita menyadari dengan jelas bahwa’sungai Berantas’ ini dan
hal-hal yang terjadi yang kita gambarkan itu, hanyalah sebuah konvensi bahasa
yang digunakan bagi kemudahan dalam berkomunikasi.Apakah konvensi sungai
Berantas ada ataupun tidak, dan apakah kita menggunakannya ataupun tidak,
tidaklah menentukan aktivitas aliran air itu. Aliran air itu berlangsung
sebagai proses reaksi keterkaitan sebab akibat. Kita dapat membedakan dengan
jelas antara konvensi dan kondisi sesungguhnya. Sekarang kita dapat mengerti
dan menggunakan konvensi pembicaraan dengan mudah.Segala sesuatu yang secara
konvensi kita ketahui sebagai orang, yang kita beri nama, dan merupakan aliran
kejadian yang berkesinabungan dan terkait, tersusun dari faktor-faktor penentu
yang tak terhingga yang terkait, seperti sungai itu. Mereka adalah subyek
kejadian yang tidak terhingga, diarahkan oleh penentu-penentu yang berhubungan,
baik dari aliran kejadian di dalam maupun di luar. Ketika suatu reaksi tertentu
terjadi dalam suatu sebab, maka akibat dari reakti itu muncul, menyebabkan
perubahan-perubahan dari aliran kejadian-kejadian. Kondisi-kondisi yang kita
hubungkan itu adalah kamma (perbuatan) dan vipaka (hasil), hanya merupakan
permainan sebab akibat di dalam suatu aliran kejadian tertentu. Mereka secara
sempurna dapat berfungsi di dalam aliran itu tanpa perlu nama atau konvensi,
atau kata’aku’ dan’kamu’, apakah sebagai pemilik atau pelaku dari perbuatan,
ataukah sebagai penerima hasil perbuatan itu. Namun untuk kemudahan
berkomunikasi di dalam dunia sosial, kita menggunakan konvensi nama bagi aliran
kejadian tertentu, seperti Tuan Selamat dan sebagainya. Setelah menerima
konvensi itu, kita menerima tanggung jawab bagi aliran kejadian, menjadi
pemilik, pelaku aktif dan pasif dan menerima hasil atau akibatnya. Akan
tetapi apakah kita menggunakan konvensi atau tidak, apakah kita menerima label
atau tidak, aliran kejadian itu sendiri tetap berfungsi dan berlangsung,
dikendalikan oleh sebab dan akibat. Oleh karena itu, hal yang penting, kita
harus memahami perbedaan antara konvensi dan kondisi yang sesungguhnya, di mana
keduanya harus dipergunakan secara terpisah sesuai konteks pembicaraannya
sehingga kita tidak dibingungkan oleh kedua hal itu.
Konvensi merupakan penemuan manusia yang berguna dan praktikal. Problema
akan muncul ketika manusia bingung akan konvensi dan hakekat sesungguhnya.
Hakekat sesungguhnya tidak membingungkan, karena berfungsi terpisah dari
keinginan manusia; jadi segala problema sepenuhnya merupakan kesalahan manusia.
Kalau seseorang bertanya:”Apabila ‘bukan aku’ yang melakukan kamma, maka
‘aku’ yang mana (siapa) yang menerima hasil kamma?” Bagian pertama dari kalimat
di atas di bicarakan menurut pengetahuan akan kenyataan, tetapi bagian kedua
dari kalimat di atas dibicarakan menurut persepsi kebiasaan orang itu (konvensi).
Secara alamiah keduanya tidak akan cocok.
Dengan demikian jelas bagi kita, dalam hakekat yang sesungguhnya, kamma dan
Anatta tidak kontradiksi dan tak dapat dipisahkan. Kamma berperan karena tidak
ada Atta (aku/diri)
No comments:
Post a Comment