Hampir semua umat Buddha secara intelek telah mengenal kebenaran yang
dibabarkan Sang Buddha ketika pertama kali berkhotbah, yaitu Empat Kesunyataan
Mulia. Telah banyak pula umat Buddha yang menggunakan khotbah tersebut sebagai
dasar untuk berlatih menuju perealisasian tujuan tertinggi umat Buddha,
kebahagiaan sejati. Namun, seberapa efektifkah hasilnya? Berapa persenkah yang berhasil merealisasinya
?
Setelah merealisasi pencerahan agung di Buddha Gaya, Sang Buddha merenung:’
Demikian dalam ajaran ini. Sungguh sulit mengungkapkan apa yang telah
direalisasi ini ke dalam kata-kata.’
Bila kita membaca Dhammacakkappavattana Sutta di dalam naskah Tipitaka
berbahasa Pali, ketika Sang Buddha memberikan khotbah perihal Empat Kesunyataan
Mulia, hanya satu dari kelima pertapa yang mendengarkan Sutta tersebut yang
sungguh-sungguh mengeri; hanya satu yang merealisai pandangan orang yang
mendalam.
Para dewa juga mendengarkan khotbah tersebut. Para dewa adalah mahluk
surgawai, yang memiliki hasil (vipaka) di kehidupan ini superior dibandingkan
kita. Mereka tidak memiliki materi tubuh yang kasar seperti kita; mereka
bertubuh halus dan indah serta menyenangkan dan cerdas. Namun, walaupun mereka
gembira mendengarkan khotbah itu, tak satu pun darinya yang merealisasi
pencerahan agung saat itu.
Kita mengetahui bahwa mereka menjadi gembira karena pencerahan agung Sang
Buddha dan mereka berseru ke alam-alam surga ketika mereka mendengarkan
ajaran-Nya. Pertama kali, satu level deva mendengarnya, kemudian mereka berseru
mengjangkau level deva berikutnya, dan seterusnya, semua deva bergembira hingga
deva Brahma. Itu merupakan suara kegembiraan para deva bahwa Dhamma telah
diputar kembali dan deva serta brahma begitu gembira. Namun demikian, hanya
Kondanna, satu dari lima pertapa, yang merealisasi pencerahan ketika
mendengarkan pertama kali khotbah ini. Pada akhir sutta tersebut, Sang Buddha
menyebutnya ‘Anna Kondanna’ yang artinya Kondanna yang mengetahui.
Apakah yang diketahui Kondanna? Apakah pandangan terang-nya yang membuat
Sang Buddha memuji pada akhir dari khotbahnya ? Pandangan terang itu berkenaan
dengan:’Semua yang merupakan subyek untuk muncul adalah subyek untuk padam’.
Sekarang, hal ini mungkin tidak terdengar sebagai pengetahuan yang besar namun
apa yang terkandung sesungguhnya adalah
sebuah pola umum: apapun yang
merupakan subyek untuk muncul adalah subyek untuk padam; ini adalah tidak kekal
dan bukan aku / tanpa kepemilikan...
Oleh karena itu janganlah melekat, janganlah dibodohi oleh sesuatu yang
muncul dan padam. Janganlah mencari perlindungan di dalam sesuatu yang muncul –
karena semua itu akan padam.
Apabila kita ingin menderita dan memboroskan kehidupan kita, kita dapat
pergi berkelana mencari sesuatu yang muncul. Mereka semua akan berakhir, padam.
Kita hanya mencari berputar mengulangi kebiasaan lama dan ketika kita
meninggal, kita tidak akan memperoleh pelajaran penting dari kehidupan kita
itu.
Daripada hanya berpikir tentang keadaan di atas, lebih baik kita
merenungkan; ‘Semua yang merupakan subyek untuk muncul adalah subyek untuk
padam.’ Terapkanlah hal ini di dalam kehidupan umum, ke dalam pengalaman kita.
Kemudian kita akan mengerti, Perhatikan; awal...akhir. Renungkan bagaimana
segala sesuatu sebagaimana hakekatnya. Semua sensor dicurahkan untuk memperhatikan
‘mulai dan berakhir’: dan akan didapat pengertian benar, Samma ditthi, di dalam kehidupan ini.
Kita tidak mengetahui
berapa lama Kondanna hidup setelah khotbah Sang Buddha itu, namun ia telah
merealisasi pencerahan pada saat itu. Ia telah memiliki pengertian benar.
Hal ini dimaksudkan untuk menekankan begitu pentingnya untuk mengembangkan
cara merenung. Daripada hanya mengembangkan sebuah metode menenangkan pikiran
kita, yang tentu merupakan salah satu bagian dari latihan, lihatlah yang
sesungguhnya bahwa meditasi yang tepat merupakan sebuah komitmen untuk
menyelidiki dengan bijaksana. Hal ini melibatkan upaya yang keras untuk melihat
segala sesuatu denga mendalam, tidak menganalisa dan membuat keputusan sendiri
tentang mengapa kita menderita secara tingkat personal, namun dengan mengikut
JALAN secara sungguh-sungguh sehingga kita memiliki pengertian yang mendalam.
Pengertian benar tersebut didasari oleh pola ‘ muncul dan padam ‘. Satu kali
keselarasan ini dimengerti, segala sesuatu yang di lihat akan tampak cocok
dengan pola tersebut.
Ini bukanlah ajaran metafisik:’Semua yang merupakan subyek untuk muncul
adalah subyek untuk padam.’ Ini bukanlah kebenaran tanpa kematian; namun
apabila dapat mengerti dan mengetahui dengan mendalam bahwa semua yang muncul
merupakan subyek untuk padam, maka kebenaran mutlak, tanpa kematian, kebenaran
kekal akan dapat direalisasi.
Ini merupakan satu teknik untuk merealisasi kesunyataan. Perhatikan perbedaannya; kalimat itu bukanlah
metafisik namun merupakan cara yang membawa kita untuk merealisai yang
mengatasi duniawi/surgawi.
No comments:
Post a Comment